Pemerintah Tetapkan Tanah Bengkok Masuk APB Desa
|
Jakarta, Villagerspost.com – Langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendapatkan banyak apresiasi. Khususnya, lantaran PP itu memuat aturan mengenai status tanah bengkok untuk dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendesa PDTT) Marwan Jafar mengaku gembira dengan terbitnya PP yang mengatur status tanah bengkok itu.
“Saya selama ini termasuk yang berjuang keras mengupayakan agar status tanah bengkok dikembalikan pada posisi semula, yakni tidak termasuk sebagai sumber pendapatan desa yang masuk dalam APB Desa, tetapi dikelola oleh kepala desa dan perangkatnya seperti sebelumnya,” kata Marwan, di Jakarta, Minggu (12/7) seperti dikutip setkab.go.id.
Karena itu, Marwan menyambut gembira PP baru tentang Desa itu, yang di dalamnya juga memuat aturan baru mengenai penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa, khususnya tentang status tanah bengkok.
Pada Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 30 Juni 2015 disebutkan:
1) Belanja Desa yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa digunakan dengan ketentuan: a. Paling sedikit 70% dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan b. Paling banyak 30% dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk: 1. Penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa; b. Operasional pemerintahan Desa; 3. Tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa; dan 4. Insentif rukun tetangga dan rukun warga.
2) Perhitungan belanja Desa sebagaimana dimaksud di luar pendapatan yang bersumber dari hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain;
3) Hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain sebagaimana dimaksud dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepada Desa dan perangkat Desa selain penghasilan tetap dan tunjangan kepada Desa;
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain sebagaimana dimaksud diatur dengan peraturan bupati/walikota.
Komitmen Tingkatkan Kesejahteraan
Marwan Jafar menilai, terbitnya PP Nomor 47 Tahun 2015 itu menjadi bukti nyata bahwa Pemerintahan Jokowi-JK sangat peduli terhadap kesejahteraan aparatur desa, sekaligus hal ini juga menjadi stimulan bagi aparatur desa untuk lebih semangat dan lebih keras kerjanya dalam membangun desanya.
Karena itu, Marwan meminta para Kepala Daerah untuk segera menerbitkan Peraturan Bupati/Walikota tentang pengelolaan tanah bengkok, sehingga ada aturan jelas bagi kepala desa dan perangkat desa berapa persen dari pengelolaan tanah bengkok yang dapat digunakan sebagai tambahan tunjangan mereka.
“Saya minta teman-teman Bupati dan Walikota agar segera merespons PP 47/2015 ini, secepatnya menerbitkan peraturan tentang pengelolaan tanah bengkok, berapa persen dari hasil pengelolaan tanah bengkok untuk tambahan tunjangan aparatur desa di luar yang ditetapkan dalam APB Desa, berapa persen untuk alokasi lainnya yang strategis bagi desa, jadi yang penting segera ada pedoman jelas terkait pengelolaan tanah bengkok ini,” pinta Marwan.
Marwan berharap, agar hasil pengelolaan tanah bengkok hendaknya jangan hanya untuk tambahan tunjangan aparatur desa, tetapi juga dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat yang arahnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Ia mengingatkan, kebutuhan dana untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa sangat besar, tidak tercukupi hanya dari dana desa bantuan pusat maupun daerah.
“Jadi hasil dari pengelolaan tanah bengkok ini juga bisa dimanfaatkan misalnya untuk membantu pengembangan usaha produktif yang dikelola oleh masyarakat desa agar meningkat kesejahteraannya,” ujar Marwan.
Perkuat Hak Desa Adat
Marwan Jafar juga menegaskan, PP No. 47 Tahun 2015 ini juga akan memperkuat hak desa adat. “Saya optimis dengan terbitnya PP 47/2015 ini akan makin memperkokoh asas kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum, khususnya desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara prinsip genealogis dan prinsip teritorial,” ujarnya seperti dikutip kemendesa.go.id, Minggu (12/7).
Terkait dengan desa adat, dalam PP 47/2015 diatur ketentuan mengenai perubahan status Desa menjadi menjadi Desa Adat, tidak seperti PP 43/2014 yang hanya membatasi perusahaan status Desa meliputi: a. Desa menjadi kelurahan; b. Kelurahan menjadi Desa; dan c. Desa adat menjadi Desa.
Marwan menjelaskan, secara faktual kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di Indonesia. Seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia” ujar Marwan.
Menteri kelahiran Pati, Jateng ini mengatakan, dengan makin kokohnya kedudukan desa adat, maka hak desa adat dalam mengelola kekayaan alam yang ada di wilayahnya juga semakin kuat. Ia merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi pada bulan Februari lalu terkait pembatalan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa “terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945”.
“Terbitnya PP 47/2015 ini tentunya harus dijadikan momentum untuk memperhatikan eksistensi desa adat dan hak ulayatnya yang selama ini seringkali diabaikan oleh kepentingan komersial dalam pengelolaan sumber daya alam,” tegas Marwan.
Marwan mengatakan, dia ingin masyarakat desa adat ikutĀ merasakan hasil kekayaan sumber daya alam yang ada di wilayahnya sendiri. “Jangan sampai hanya pemilik modal yang menikmati hasilnya sementara masyarakat desa adat yang kemudian menanggung dampak buruk akibat eksploitasi yang tidak melestarikan lingkungan, meminggirkan hak dan kepentingan masyarakat setempat, dan mengabaikan kearifan lokal,” ujarnya.
Ia mengingatkan, dalam UU Desa 6/2014 tegas sekali sudah diakui hak-hak kesatuan masyarakat adat, termasuk hak mengurus dirinya sendiri terkait dengan hak ulayatnya atas sumber daya alam yang ada di wilayah hukum adatnya. “Justru keberadaan desa adat harus terus diperkuat dan masyarakatnya harus lebih diberdayakan agar mampu memanfaatkan sumber daya alam di atas tanahnya yang telah diwarisi dari leluhur selama ratusan tahun,” ungkapnya.
Karena itu, Menteri Desa mengajak semua pihak yang terkait termasuk Pemerintah pusat dan daerah untuk lebih bijaksana dalam memberikan izin-izin kegiatan industri yang bersinggungan dengan wilayah desa adat. “Sudah saatnya hak dan kepentingan desa adat lebih dihormati dan dilindungi, masyarakatnya diberdayakan agar lebih berkembang dan sejahtera” katanya. (*)
Lengkapnya Dusun Kemisik, Desa Sumbergedang, Kec.Pandaan, Kab.Pasuruan.
Dusun kami punya tanah Bengkok yg dikelola olah Kepala Dusun secara turun temurun, bahkan akhir2 ini dg. pergantian Kepala Dusun baru, terus tanah tsb. dikontrakkan kepada seorang petani, kemudian hasil kontrakannya sebagian digunakan untuk biaya wisata warga dusun, itupun warga sangat senang sekali turur serta menikmati Tanah Bengkok tsb.