Pendamping Desa tak Gunakan Sistem Kontrak
|
Jakarta, Villagerspost.com – Komisi V telah bersepakat dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk menghindari sistem kontrak untuk pedamping desa. “Kesepakatan Komisi V dengan Menteri Desa adalah manfaatnya dana desa, siapa yang menerimanya harus jelas, dan diharapkan penggunaannya melalui pemberdayaan masyarakat setempat,” kata Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis di Kupang, Selasa, (3/5).
Fary menerangkan, ada dua kriteria didalam permasalahan dana desa ini, yaitu pemberdayaan masyarakat setempat dan kriteria dari pendamping desa haruslah masyarakat setempat. “Kita sepakati, kita minta manfaatkan anak-anak atau masyarakat setempat, bagaimana membangun pertemanan untuk penyaluran dana desa,” tegasnya.
Dia beralasan, jika pendamping desa didatangkan dari luar, maka para pendamping desa itu akan kesulitan karena harus beradaptasi dan bersosialisasi lebih dulu. “Mereka tidak akan bisa diharapkan, karena orang luar tidak tahu kondisi desa yang mereka datangi, tidak mengetahui tokoh-tokoh setempat, jadi akan sulit untuk menyalurkan dana desa tersebut,” terang Fary.
Lebih lanjut, ia menambahkan, dari pelaksanaan penyaluran dana desa tahun 2015, masih banyak kekurangan dan perlu diperbaiki. “Komisi V DPR RI telah melakukan evaluasi penyaluran dana desa dan banyak kekurangan dan banyak hal yang perlu diperbaiki. Tahun ini diharapkan lebih baik,” kata politisi Partai Gerindra itu.
Dihindarinya sistem kontrak ini dalam rekrutmen pendamping desa ini belajar dari pengalaman pihak Kementerian Desa PDTT saat mengontrak para pendamping desa eks program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Ketika itu untuk penyaluran dana desa 2015, Kemendesa PDTT memang belum bisa melakukan rekrutmen mandiri karena kebutuhan tenaga pendamping yang harus cepat tersedia.
Dalam perjalanannya, ketika kontrak habis dan Kemendesa PDTT melakukan perekrutan baru untuk pendamping desa dalam pengucuran dana desa 2016, terjadi gejolak dari para pendamping eks PNPM yang kontraknya habis. Kemendesa beralasan, pendamping eks PNPM harus ikut seleksi ulang untuk bisa menjadi pendamping desa karena program dana desa berbeda dengan PNPM.
Persoalan ini pun sempat pula dibahas oleh Komisi V DPR. Pasalnya, para pendamping eks PNPM ini juga mengeluh soal gaji dan honor yang tak jelas.
Dalam kunjungan kerja spesifik ke Jambi beberapa waktu lalu, para anggota Komisi V sempat mendengar istilah “Romlah” untuk menyebut para pendamping desa. Kata itu adalah singkatan dari Rombongan Lillahita’ala lantaran para pendamping desa eks PNPM mengaku honor mereka tak pernah jelas dan kerap tertunggak.
Dalam kesempatan itu, Akmal, salah seorang pendamping desa asal Kabupaten Tanjung Jabung Timur, mengungkapkan ketiadaan dana operasional kegiatan dalam PPMD terkait pemanfaatan dana desa. Hal tersebut berbeda saat pelaksanaan PNPM era pemerintahan sebelumnya yang selalu menyertakan alokasi dana operasional dalam setiap kegiatan.
“Padahal dalam setiap kegiatan kita butuh konsumsi, biasanya hal itu kita ambil dari dana operasional, tapi kalau sekarang tidak boleh (tidak ada alokasinya) kita harus bagaimana lagi?” Tanya Akmal.
Persoalan lainnya adalah standarisasi gaji (honor) yang terlalu umum. Tidak ada perbedaan antara pendamping desa yang bertugas di desa yang secara geografis normal dengan pendamping desa yang bertugas di wilayah pegunungan dengan medan sulit atau bahkan di kepulauan. “Tunjangan operasional untuk daerah sulit itu era PNPM ada dan jelas,” keluhnya.
Ikuti informasi terkait pendamping desa >> di sini <<