Pendamping Desa Tuntut Transparansi Rekrutmen
|
Jakarta, Villagerspost.com – Para pendamping desa yang tergabung dalam Aliansi Pendamping Profesional Desa (APPD) Jawa Barat, berunjuk rasa di depan Istana Negara, hari ini, Rabu (23/3). Ratusan orang pendamping desa melakukan aksi demi menuntut transparansi dalam rekrutmen pendamping desa. Mereka merasa proses rekrutmen pendamping desa telah dipolitisasi.
Ketua APPD Jawa Barat Uun Untamiharja yang menjadi koordinator aksi mengatakan, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah melakukan politisasi rekrutmen pendamping desa. Bahkan sempat beredar kabar, posisi pendamping desa sudah “dijatah” oleh kader PKB yang merupakan partai politik pengusung Menteri Desa PDTT Marwan Jafar.
Karena itulah, para pendamping desa yang sebelumnya sudah bekerja untuk program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dipersulit untuk mengikuti proses rekrutmen pendamping desa. Mereka pun sempat mengeluhkan soal ini ke DPR.
(Baca juga: Sengkarut Eks PNPM Sebagai Pendamping Desa)
“Tuntutannya jangan ada politisasi dalam rekrutmen. Jangan ada politisasi dalam revisi UU Desa. Ada persoalan dengan pendampingan. Sebagai schedule 2016, kalau dalam rekrutmen ada proses, praktik rekrutmen sebagaimana yang tidak sesuai dengan persyaratan itu,” kata Uun.
Uun Untamiharja mengemukakan, pelaksanaan tahun kedua penyaluran alokasi dana desa bukannya ditandai dengan berbagai pembenahan dan persiapan, sebaliknya telah terjadi pembelokan dari makna dan arah dasar “self governing community” sehingga desa semakin tidak berdaya.
“Telah terjadi praktik tata kelola yang tidak baik, dimana sebagian besar program dukungan bagi desa tetap menggunakan pola pendekatan proyek, dan khususnya terkait pengadaan barang dan jasa, khususnya pendamping yang dilakukan secara terpusat,” keluh Uun.
Ketua APPD Jabar ini juga mengeluhkan tidak transparan dan tidak jelasnya proses rekrutmen petugas pendamping desa. “Pelaksanaan seleksi tidak dilakukan secara tim oleh tim teknis, dan proses seleksi menggunakan alat tulis pensil dan semua berkas seleksi aktif dibawa tim seleksi pusat. Setelahnya pengumuman kandidat lulus ditentukan oleh Pusat,” kata Uun.
Untuk itu, Uun meminta agar pemerintah menugaskan institusi yang kompeten untuk melakukan evaluasi atas berbagai kekisruhan proses rekrutmen pendamping desa, dengan melakukan sampling sampai ke tingkat provinsi.
Para pengunjuk rasa sendiri kemudian diterima oleh Seskab Pramono Anung di ruang rapat lantai 2 Gedung III Kementerian Sekretariat Negara. Dalam pertemuan itu Seskab Pramono AnungĀ menegaskan, dirinya sangat memahami filosofi dasar Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa, karena ia merupakan salah satu pimpinan DPR saat undang-undang diputuskan.
Karena itu, Seskab menyayangkan apabila proses panjang salah satu program andalan dari pemerintah terdapat persoalan dalam pelaksanaannya. “Presiden Joko Widodo telah mengambil kebijakan dalam pembangunan Indonesia tidak lagi Jawa-sentris tetapi Indonesia-sentris,” kata Pramono.
Karena itu, kata dia, pembangunan tidak lagi dimulai dari kota-kota tetapi pembangunan dimulai dari desa-desa. Pramono Anung berjanji hasil pertemuan pendamping desa ini akan disampaikan secara penuh kepada presiden. Seskab juga berusaha akan memasukkan aspirasi dari APPD ke dalam agenda rapat terbatas kabinet untuk memutuskan langkah kebijakan atau keputusan yang akan segera diambil.
“Jadi kami karena kantor berfungsi untuk itu dan kami juga berfungsi untuk mengadakan yang disebut dengan rapat terbatas, jadi setiap masalah juga akan dirapatkan termasuk persolan ini,” jelas Pramono.
Proses Seleksi Tak Transparan
Usia diterima Sekretaris Kabinet, para pendemo kemudian bergerak ke DPR untuk menyampaikan aspirasinya. Di hadapan anggota Komisi II Rieke Dyah Pitaloka, Sekretaris Aliansi Forum Pendamping Dana Desa Dedi Rustandi mengatakan, proses perekrutan pendamping desa terutama untuk pendamping eks PNPM berjalan tak adil. Banyak dantara mereka yang harus menjalani seleksi ulang namun secara sepihak dinyatakan tidak lolos. “Kami menduga ada politisasi di sini,” kata Dedi.
Terkait hal ini, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, proses rekrutmen pendamping desa harus dilakukan secara transparan dan tanpa diskriminasi. Hal ini, kata dia, menjadi penting karena dana desa yang digelontorkan tahun ini dan harus diawasi mencapai Rp40-an triliun.
Agus meminta, pihak Kemendesa PDTT menjawab kegundahan para pendamping desa ini. “Kalau benar dugaan (politisasi) itu ya, makanya Kemendes itu harus kembali ke Undang-Undang. Tak boleh itu politisasi mesti jadi kader tertentu. Karena ini pelanggaran, tak sesuai dengan undang-undang,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Sekretariat Nasional (seknas) Jaringan Pemantau PendampingĀ Desa (JP2D) Jawa Barat Heri Kurniawan menyatakan, peranan dan fungsi para pendamping desa memiliki banyak perbedaan dengan pendamping PNPM. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi No. 3 Tahun 2015, menurut Heru pendamping desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa.
Sedangkan tujuan pendampingan desa meliputi peningkatkan kapasitas, efektifitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan desa, kedua peningkatkan prakarsa, kesadaran, dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan Desa yang partisipatif, ketiga peningkatkan sinergi program pembangunan Desa antarsektor yang terakhir terkait pengoptimalan asset lokal desa secara emansipatoris.
“Kalau eks PNPM ini merasa paling pengalaman mendampingi desa, maka menunjukkan bahwa mereka adalah mental pekerja bukan mental pemberdaya. Karena jiwa pemberdaya adalah jiwa yang menghargai orang lain bukan memaksakan kehendak,” ujar Heri.
Terkait hal ini, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, aksi demonstrasi yang dilakukan para pendamping desa itu menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam menerapkan kebijakan. “Kalau sampai ada tahapan demo itu berarti ada yang tak beres kan di dalam pengaturan dan pengelolaan,” ujarnya.
Dia menilai, pengawasan dana desa harus dilakukan secara ketat karena dana yang ditransfer ke desa-desa mencapai Rp1 miliar-Rp1,5 miliar. “Nah, ini kan uang. Pasti muncul kantong-kantong konsultan, pengawas yang banyak yang kalau kita hitung,” kata Fahri.
Fahri menegaskan, sebaiknya mekanisme seperti sistem PNPM yang sudah eksis agar dipertahankan. “Sistem pengawasan dana desa harus dipastikan tak ada unsur politik,” tegasnya. (*)
Ikuti informasi terkait pendamping desa >> di sini <<