Pentingnya Pendekatan Bentang Alam Dalam Pencegahan dan Penanganan Karhutla
|
Jakarta, Villagerspost.com – Fenomena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2019, merupakan salah satu yang terparah di Indonesia. Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) menyebut total penderita Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) di Sumatera dan Kalimantan sejak Februari hingga September 2019 mencapai 919.516 jiwa. Sawit Watch mencatat, sedikitnya ada 17 kawasan hidrologis gambut (KHG) dengan setidaknya 19 perusahaan sawit anggota RSPO di Kalimantan dan Sumatera, terbakar konsesinya sampai Oktober 2019.
Bahkan Greenpeace Indonesia menunjukkan, sembilan dari dua belas grup sawit memiliki area lahan terbesar di konsesi mereka antara 2015-2018 yang tidak menerima sanksi perdata dan administrasi yang serius.
Berdasarkan hasil temuan Sawit Watch, beberapa perusahaan tersebut berada di kawasan gambut dan terbakar konsesinya. Perusahaan tersebut di antaranya adalah PT BGR, PT DIL, PT AMR, PT MBJ, dan PT SMS. Kemudian, PT TS, PT MAR, PT JV, PT AM, PT GBSM, PT MJSK, PT GAL, PT DWK, PT TJA, dan PT SKS. Perusahaan tersebut merupakan anak perusahaan dari grup BAM, SA, GAR, WIL, PAS, TAP, KLK, GEN, EG, IOI, dan AUS yang telah terdaftar sebagai anggota RSPO.
“Hasil identifikasi kami, sebelum 2019 beberapa KHG rutin terbakar setiap tahunnya, salah satu contohnya PT DIL yang berada dalam KHG Sungai Rumpit-Sungai Rawas,” kata Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (6/11).
Inda memaparkan, konsesi perkebunan sawit anggota RSPO tersebut yang berada di lahan gambut, terindikasi mengalami kebakaran pada September dan Oktober 2019, dan hampir setiap tahun mengalami kebakaran sejak tahun 2015. “Hal tersebut menunjukkan bahwa air di lahan gambut PT DIL tidak dikelola dengan baik, sehingga lahan gambut yang berada di PT. DIL sudah menjadi kering,” tambahnya.
Lebih jauh Inda menjelaskan pentingnya, pendekatan bentang alam dalam melengkapi upaya pencegahan dan kebakaran hutan dan lahan berupa kesatuan hidrologis gambut (KHG). Dia menilai, pendekatan yang digunakan selama ini belum memadai.
“Pada dasarnya inti dari pendekatan bentang alam adalah integrasi dan adaptasi untuk menemukan solusi bersama. Maka dari itu kami berharap kedepan perlu dibentuknya sebuah forum di dalam sebuah KHG,” jelas Inda.
“Melalui forum ini diharapkan dapat menjadi ruang kolaboratif para pihak dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan kawasan gambut dalam satu KHG secara bersama-sama,” tegas Inda.
Inda mengingatkan, RSPO merupakan tempat bertemunya multi stakeholder dalam industri minyak sawit berkelanjutan. “Untuk itu kami menilai, jika dalam satu KHG terdapat beberapa perusahaan anggota RSPO didalamnya, akan lebih baik jika RSPO mengkonsolidasikan perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu KHG untuk saling berkoordinasi,” tegas Inda.
Dengan demikian, peran RSPO menjadi sangat penting. “RSPO berperan penting dalam terbentuknya Forum KHG untuk saling berbagi tentang tantangan dan masalah dalam pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan,” pungkas Inda.
Editor: M. Agung Riyadi