Pentingnya Pengakuan Politik untuk Perempuan Nelayan Indonesia

Fakta data kontribusi nelayan perempuan (dok. kiara)
Fakta data kontribusi nelayan perempuan (dok. kiara)

Jakarta, Villagerspost.com – Hari perempuan internasional menjadi momentum penting bagi perempuan nelayan untuk mendorong negara memberikan pengakuan politik dan perlindungan bagi perempuan nelayan. Perempuan nelayan faktanya berkontribusi besar kepada perekonomian keluarga. Tercatat 48% penghasilan keluarga nelayan berasal dari perempuan dan untuk peran tersebut mayoritas perempuan nelayan bekerja lebih dari 17 jam sehari.

Ironisnya, peran penting perempuan nelayan ini belum mendapatkan pengakuan politik dari Pemerintah Indonesia, termasuk di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Undang-Undang No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah mengatakan, perempuan nelayan masih mendorong negara untuk memberikan pengakuan politik. Kenapa pengakuan politik itu penting? Contoh kasus, dari 1 juta asuransi nelayan yang difasilitasi negara, nyatanya hanya ada dua orang perempuan dari Gresik, Jawa Timur yang mendapatkan asuransi nelayan.

“Itu pun setelah melalui proses perdebatan panjang dengan DKP. Selain itu, kita bisa melihat anggaran KKP hari ini masih belum ramah dan diperuntukkan untuk perempuan nelayan,” kata Masnuah dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Rabu (8/3).

Di sisi lain, sejak pendirian Kementerian Kelautan dan Perikanan 17 tahun yang lalu, banyak kebijakan yang sudah dikeluarkan di bidang ini (lihat Tabel 1). Namun tidak satupun memberikan ruang pengakuan politik kepada perempuan nelayan/pembudidaya/petambak garam.

Tabel 1. Kebijakan Kelautan, Pesisir, dan Perikanan

No Kebijakan Penjelasan
1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan Subyek hukumnya: nelayan pemilik, nelayan penggarap, pemilik tambak, penggarap tambak
2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

Tentang Perikanan

Subyek hukum berfokus kepada nelayan dan pembudidaya (laki-laki)

Tidak mengakui keberadaan dan peran perempuan nelayan di dalam aktivitas perikanan skala kecil/tradisional

3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil

Tidak spesifik menyebut perempuan sebagai subyek hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil
4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan Undang-Undang ini bersifat sektoral dan hanya membagi “kue-kue kekuasan” antar kementerian/lembaga negara
5 Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Nelayan Instruksi Presiden ini merupakan kebijakan pertama yang mengupayakan perlindungan nelayan, termasuk keluarganya, meski sifatnya sporadis (tersebar di banyak kementerian/lembaga negara)
6 Undang-Undang No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam Kata perempuan hanya ada satu kata dan masuk ke dalam rumah tangga nelayan.

Perempuan nelayan hanya diakui perannya dalam keluarga nelayan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2017) 

Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA Armand Manila mengatakan, penyebutan “rumah tangga nelayan”, “rumah tangga pembudidaya ikan”, dan “rumah tangga petambak garam” dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam nyatanya tidak mewakili kepentingan perempuan di 10.666 desa pesisir di Indonesia.

“Untuk itulah, negara harus segera memberikan pengakuan politik kepada perempuan nelayan,” tegas Armand.

Terakhir, PPNI bersama dengan KIARA mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan beberapa hal. Pertama, negara harus segera merevisi UU Perikanan dan UU No 7 tahun 2016 untuk mengakui dan melindungi keberadaan dan peran perempuan nelayan. Kedua, mendorong hadirnya negara dalam pengelolaan sumber daya ikan dan mengehentikan segala bentuk perampasan ruang kelola masyarakat pesisir, khususnya perempuan nelayan.

“Ketiga, memprioritaskan kebijakan anggaran nasional dan daerah untuk menyejahterakan dan melindungi perempuan nelayan,” pungkas Armand.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.