Penyandera Penyidik Kebakaran Hutan Lecehkan Pemerintah

Greenpeace menemukan adanya kanal-kanal untuk mengeringkan lahan gambut di area konsesi kelapa sawit di Pangkalan Terap, Teluk Meranti, Pelalawan, Riau (dok. greenpeace/rony muharrman)
Greenpeace menemukan adanya kanal-kanal untuk mengeringkan lahan gambut di area konsesi kelapa sawit di Pangkalan Terap, Teluk Meranti, Pelalawan, Riau (dok. greenpeace/rony muharrman)

Jakarta, Villagerspost.com – Wajah penegakan hukum terutama dalam kasus kebakaran hutan kembali tercoreng dengan terjadinya penyanderaan terhadap penyidik kebakaran hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Rokan Hulu, Riau, Jumat (2/9) lalu. Tujuh pegawai KLHK, terdiri dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Polisi Kehutanan (Polhut) itu diduga disandera oleh massa terkait perusahaan PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL).

Menyikapi masalah ini, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia Yuyun Indradi mengatakan, Greenpeace meminta Presiden untuk mengeluarkan perintah tegas terhadap upaya penegakan hukum terkait kebakaran hutan. “Agar Presiden mendukung dan mengharapkan kerja maksimal dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kepala Kepolisian RI,” katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Senin (5/9).

Indikasi ketrlibatan PT APSL muncul karena penyanderaan terjadi ketika para penyidik selesai menjalankan tugas menyegel kawasan hutan/lahan yang terbakar yang berada dalam penguasaan perusahaan tersebut. Para penyidik dibebaskan, setelah penyandera memaksa mereka untuk menghapus data di kamera. Beruntung, beberapa gambar yang diambil dari drone selamat.

Foto-foto udara tersebut menunjukkan sebagian lahan terbakar telah dibersihkan untuk menanam kelapa sawit, suatu praktik ilegal yang lazim dilakukan untuk  pembangunan kebun. Wilayah yang terbakar tersebut adalah gambut di mana terjadi indikasi pengeringan yang sedang berlangsung, yang juga dilarang berdasarkan arahan pemerintah pada saat kebakaran tahun lalu.

Kasus ini semakin membuat buram potret penegakan hukum kasus kebakaran hutan di Indonesia. Sebelumnya, kepolisian juga gagal mengungkap kembali belasan kasus investigasi terhadap perusahaan perkebunan dan kehutanan di Riau yang telah dihentikan proses penyidikannya.

Berdasarkan peta Kepo Hutan Greenpeace, ada 15 perusahaan beserta afiliasinya yang kasus kebakaran lahannya dihentikan Polda Riau. Ke-15 perusahaan itu adalah: PT Bina Duta Laksana (Pulpwood), terafiliasi APP (Sinar Mas Forestry), PT Ruas Utama Jaya (Pulpwood) terafiliasi APP (Sinar Mas Forestry), PT Perawang Sukses Perkasa Industri (Pulpwood) terafiliasi APP (Sinar Mas Forestry), dan PT Suntara Gajapati (Pulpwood) terafiliasi APP (Sinar Mas Forestry).

Kemudian ada juga PT Dexter Timber Perkasa (Pulpwood) tidak terdapat di database Kepo Hutan, PT Siak Raya Timber (Pulpwood) terafiliasi APRIL (RGE), PT Sumatera Riang Lestari (Pulpwood) terafiliasi APRIL (RGE), PT Bukit Raya Pelalawan (Pulpwood) terafiliasi APRIL (RGE), PT Hutani Sola Lestari (Pulpwood) terafiliasi APRIL (RGE) dan KUD Bina Jaya Langgam (Pulpwood) terafiliasi APRIL JV (RGE)

Berikutnya, PT Rimba Lazuardi (Pulpwood) terafiliasi APRIL (RGE), PT PAN United (Palm Oil) tidak terdapat di database Kepo Hutan, PT Parawira (Palm Oil) tidak terdapat di database Kepo Hutan. Ada juga, PT Alam Sari Lestari (Palm Oil) tidak terdapat di database Kepo Hutan dan PT Riau Jaya Utama (Palm Oil) tidak terdapat di database Kepo Hutan.

Yuyun menegaskan, hukum harus ditegakkan untuk mencegah kebakaran, ini bukan hanya mencakup sanksi pidana, tetapi juga perdata dan administratif. Presiden harus segera perintahkan kepolisian dan kementerian terkait untuk meningkatkan kerjasama.

“Mereka harus memastikan perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum tersebut mendapat sanksi terhadap kejahatan yang dilakukan, termasuk secara administratif dan membayar kerugian yang sesuai,” kata Yuyun.

Kemudian, Mahkamah Agung juga harus memastikan para hakim yang ditunjuk untuk menangani kasus kebakaran hutan, memiliki rekam jejak yang bersih serta memiliki kapasitas dalam kasus-kasus lingkungan. “Komisi Yudisial dan Menteri Hukum dan HAM harus mengawasi kasus-kasus tersebut untuk memastikan keterbukaan dan keadilan, sehingga tidak membuka  peluang bagi para pengusaha lokal untuk mempengaruhi dan melakukan tindak korupsi dalam proses hukum,” urai Yuyun.

Penegakan yang hukum yang lemah, kata Yuyun, membuat masyarakat Indonesia menanggung beban berat dari krisis kebakaran dan  asap. Tetapi di sisi lain dapat berperan penting untuk mengakhiri krisis tersebut dengan turut memantau kerusakan hutan dan gambut yang terjadi.

Masyarakat lokal, media dan LSM dalam posisi memberikan saran  kepada para penegak hukum dan menyerukan kepada  perusahaan-perusahaan bahwa mereka tidak bisa lepas dari perhatian publik, ketika kebakaran terjadi di lahan mereka. “Bagaimana pun, ini hanya bisa terjadi jika pemerintah merevisi kebijakan  terkait keterbukaan data dan informasi penting kehutanan yang dikecualikan  dan membuka akses masyarakat terhadap peta dan data tentang siapa saja yang menguasai lahan,” pungkasnya.

Ikuti informasi terkait kebakaran hutan >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.