Peringatan Hari Buruh, Sawit Watch Desak Pemerintah Cabut UU Cipta Kerja
|
Bogor, Villagerspost.com – Memperingati Hari Buruh Internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei, Sawit Watch mendesak pemerintah agar mencabut UU Cipta Kerja yang dianggap telah menciptakan keadilan bagi para buruh termasuk buruh perkebunan sawit. Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, UU Cipta Kerja (UUCK) tidak melindungi buruh perkebunan sawit.
“Kehadiran UU Cipta Kerja justru melegalkan praktik hubungan kerja rentan di perkebunan sawit serta menghilangkan kepastian kerja, kepastian upah, hingga kepastian perlindungan sosial dan kesehatan,” kata Rambo, Senin (1/5).
Hal ini mengakibatkan semakin banyak buruh prekarius (precarious worker–buruh dengan kondisi kerja tanpa standar dimana pekerja/buruh berupah rendah, tidak aman, tidak ada kestabilan kelangsungan pekerjaan, tanpa perlindungan, dan tidak dapat menghidupi rumah tangga-red), di perkebunan sawit, yang mayoritas adalah perempuan. “Kehadiran UU Cipta Kerja akan melegitimasi praktik hubungan kerja rentan sebagaimana selama ini telah dipraktikkan di perkebunan sawit,” tegasnya.
Praktik kerja outsourcing diakomodir dalam regulasi ini, hal tersebut sangat merugikan buruh kebun sawit karena menyebabkan ketidakpastian hubungan kerja. Dengan UU Cipta Kerja perusahaan kapan saja bisa mem-PHK buruh dengan alasan rugi dengan pesangon yang kecil.
“Untuk itu Sawit Watch menegaskan bahwa UU Cipta Kerja tidak memenuhi kebutuhan buruh perkebunan sawit. Kami menuntut agar UU Cipta Kerja agar dicabut karena akan sangat merugikan bagi kelompok buruh di perkebunan sawit,” papar Rambo.
Seperti diketahui, industri sawit telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, namun sayangnya keuntungan tersebut tidak sejalan dengan kondisi yang dirasakan oleh buruh di perkebunan sawit. Menurut pemantauan Sawit Watch dengan luasan perkebunan sawit mencapai 25,07 juta hektare (data Sawit Watch 2022) industri ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 16,2 juta pekerja, dengan 4,2 juta orang merupakan tenaga kerja langsung dan 12 juta orang merupakan tenaga kerja tidak langsung. Dimana sebagian besar buruh sawit saat ini masih berada dalam posisi hubungan kerja yang rentan, bahkan diperparah dengan disahkannya kembali UU Cipta Kerja pada Maret 2023 lalu.
Spesialis Perburuhan Sawit Watch Zidan mengatakan, sebagai salah sektor unggulan dengan permintaan dari luar negeri yang cukup besar, seharusnya buruh perkebunan sawit bekerja dengan upah layak, status permanen, dan dilindungi oleh jaminan sosial. Tapi faktanya masih banyak perkebunan sawit mempekerjakan buruh dengan status buruh harian lepas,” kata Zidan.
“Kondisi yang dialami buruh sawit saat ini, penting adanya sebuah regulasi yang memberikan perlindungan bagi buruh sawit,” ujar Zidan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Proglam Legislasi Nasional (Prolegnas) telah merencanakan sebuah RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Buruh Pertanian/Perkebunan. “Kami melihat ini sebagai suatu hal yang baik, perlindungan terhadap buruh perkebunan sawit dapat diakomodir melalui regulasi ini,” kata Zodan.
Harapannya regulasi ini dapat menjamin kepastian kerja, sistem pengupahan layak, jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, mekanisme perlindungan K3 dan perlindungan terhadap kebebasan berserikat, dan sebagainya. “Sehingga untuk itu kami berharap agar regulasi ini agar dapat direalisasikan segera,” tambah Zidan.
Rambo menambahkan, Peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei 2023, diharapkan dapat menjadi momen refleksi dan koreksi untuk mewujudkan langkah-langkah konkret untuk perbaikan kondisi buruh kedepan. “Sudah selayaknya buruh sawit sebagai pejuang devisa negara mendapatkan perlindungan, jaminan serta posisi yang layak dalam sebagai salah satu parapihak yang mendorong pegembangan industri sawit saat ini,” tutup Rambo.
Editor: M. Agung Riyadi