Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura Ancam Kedaulatan Negara

Koalisi masyarakat sipil menentang klausul di perjanjian perdagangan bebas Asia-Pasifik yang sangat memanjakan investor dan mengancam kesejahteraan masyarakat (dok. indonesia for global justice)

Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi, mendesak pemerintah untuk tidak meratifikasi Perjanjian Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaty–BIT) dengan Singapura karena penandatanganan perjanjian tersebut mengancam kedaulatan negara. Mereka juga menuntut agar pemerintah untuk membuka transparansi teks perjanjian dan melibatkan publik acara luas dalam proses pengambilan keputusan baik pada institusi pemerintah maupun institusi legislatif.

Desakan ini dilakukan untuk menyikapi penandatanganan Perjanjian BIT antara Indonesia dengan Singapura pada 11 Oktober 2018 di Bali disela-sela pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia. Perjanjian BIT memuat salah satu instrument Bank Dunia dalam memberikan perlindungan maksimum kepada Investor asing dibawah Konvensi ICSID. Instrumen ini dikenal dengan mekanisme gugatan investor asing terhadap negara atau dikenal dengan istilah Investor to State Dispute Settlement (ISDS).

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyatakan, penandatanganan BIT adalah sebuah kemunduran dari kebijakan yang pernah diambil Pemerintah Indonesia pada 2013 untuk mereview dan menghentikan pemberlakuan BIT. “Pemerintah telah mengingkari komitmennya kepada rakyat, padahal secara sadar diakuinya jika BIT dan ISDS itu merugikan Indonesia bahkan dapat mengesampingkan Konstitusi dan undang-undang nasional,” tegas Rachmi, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (22/10).

Koalisi menilai, penandatanganan yang dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya sidang tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali pekan lalu (8-14 Oktober 2018) berada dibawah tekanan sistem neo-liberal yang dianut oleh IMF dan Bank Dunia. “Ini semakin memperlihatkan nuansa keberpihakan Pemerintah Indonesia kepada sistem neo-liberal yang mempertahankan impunitas korporasi ketimbang perlindungan hak rakyat,” terang Muhammad Reza Koordinator dari KRuHA yang juga Koordinator Gerak Lawan.

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewy mengatakan, BIT akan memberikan perlindungan hukum dan hak yang sangat kuat bagi investor, melampaui kedaulatan negara dalam upaya melindungi warganya. Termasuk dalam hal tanggungjawab negara untuk mengeluarkan regulasi pada sektor di mana perempuan mengalami dampak yang sangat signifikan sementara aturan yang sudah ada masih lemah.

“Misalnya bagaimana prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan dalam pelaksanaannya tetap mengecualikan perempuan karena budaya patriarki dalam masyarakat. Selain itu, BIT sudah pasti akan menyasar sumber daya alam. Di mana, perempuan mengelola dan memanfaatkan dengan kearifan pengetahuan perempuan dan tergantung padanya,” tegas Puspa Dewy.

Penandatanganan BIT Indonesia-Singapura sangat luput dari perhatian publik, bahkan parlemen sekalipun. Kerahasiaan dalam proses negosiasi dan jauh dari pengawasan publik telah menghilangkan demokrasi.

Padahal, tertutupnya partisipasi dan akses publik terhadap informasi serta draft teks perjanjian di dalam negosiasi BIT telah mengancam demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Terlebih, BIT Indonesia-Singapura disahkan atau diratifikasi tanpa memerlukan persetujuan DPR sehingga fungsi kontrol rakyat melalui DPR atas kekuasaan pemerintah telah hilang, sehingga hal ini telah bertentangan dengan Konstitusi.

Padahal di dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 dinyatakan: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat“.

Perjanjian BIT memiliki dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, khususnya ketika negara tidak lagi memiliki ruang yang bebas untuk membuat kebijakan (hilangnya policy space) dan tersandera dengan kepentingan korporasi asing akibat ancaman gugatan ISDS. Bahkan, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof.Hikmahanto Juwana, dalam keterangannya sebagai ahli di Sidang Perkara NO.13/PUU-XVI/2018 terhadap Undang-undang No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di Mahkamah Konstitusi, ikut memperkuat pentingnya Persetujuan DPR terkait BIT. (Gugatan ini diajukan pada 14 Februari 2018 oleh Koalisi ini).

Dalam keterangannya, Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan: “Dalam implementasinya BIT yang ditandatangani pemerintah ternyata telah memiliki dampak yang tidak lagi hanya sekadar teknis. Tetapi ada konsekuensi yang fundamental dari BIT dimana investor dapat menggugat negara di arbitrase internasional dan berpotensi dikalahkan oleh Investor. Sehingga perjanjian tersebut perlu dilakukan secara hati-hati oleh negara, dan dapat dipahami bahwa BIT memang sebuah perjanjian yang secara substansi tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional yang tidak memerlukan persetujuan DPR“.

“Tertutupnya partisipasi dan akses publik terhadap informasi serta draft teks perjanjian di dalam negosiasi BIT telah mengancam demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,” kata Marthin Hadiwinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

David Sitorus, Ketua IHCS menjelaskan bahwa BIT Indonesia-Singapura disahkan atau diratifikasi tanpa memerlukan persetujuan DPR sehingga fungsi kontrol rakyat/DPR atas kekuasaan pemerintah telah hilang. “Hal ini telah bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena dampaknya yang sangat fundamental bagi kehidupan rakyat maka sudah sepatutnya BIT Indonesia-Singapura harus mendapatkan persetujuan rakyat. Jika tidak, maka BIT Indonesia-Singapura harus dianggap Inkonstitusional,” tegasnya.

Dari paparannya, kembali Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi menyatakan secara tegas penolakannya terhadap BIT Indonesia-Singapura dan mekanisme ISDS yang diatur dalam perjanjian tersebut. Bahkan mereka mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan dan tidak meratifikasi BIT Indonesia-Singapura. Serta menuntut agar pemerintah untuk membuka transparansi teks perjanjian dan melibatkan publik acara luas dalam proses pengambilan keputusan baik pada institusi pemerintah maupun institusi legislatif.

Untuk diketahui, sejak tahun 1960-an hingga 2013, Indonesia memiliki sebanyak 63 BIT. Dampak dari BIT tersebut, Indonesia sudah punya paling tidak 8 pengalaman kasus gugatan investor asing terhadap Indonesia dengan nilai klaim ganti rugi oleh investor asing mencapai milyaran dollar.

Beberapa kasusnya seperti gugatan Rafat Ali Rizvi (BIT Indonesia-UK), Churcill Mining (BIT Indonesia-UK), Newmont (BIT Indonesia-Belanda), India Metal Ferro Alloys (BIT Indonesia-India), dan Oleovest Ltd (BIT Indonesia-Singapura). Bahkan, potensi kasus Indonesia kedepan jika BIT tidak dihentikan dapat meluas ke berbagai sektor seperti kesehatan, dimana beberapa negara sudah pernah mengalami gugatan investor asing terkait isu kesehatan dan obat.

Dampak dari BIT ini sudah disadari oleh pemerintah dimana perjanjian investasi internasional yang memuat mekanisme ISDS ini telah menghilangkan kedaulatan negara (policy space) dan fungsi negara dalam menjalankan kewajiban pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap rakyatnya. Dampak buruk mekanisme sengketa ISDS ini tidak berhenti hanya disitu. Melainkan berdampak terhadap kerugian keuangan negara ketika harus digugat untuk mengganti potensi kerugian yang diderita oleh korporasi asing yang nilainya mencapai triliyunan rupiah.

Contohnya, Churcill Mining pada 2012 menggugat negara sebesar US$1,2 miliar atau setara dengan Rp14,4 triliun. Nilai itu dalam APBN 2015 hampir setara dengan alokasi subsidi untuk pangan yakni senilai Rp18,9 triliun.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.