Pertanian Ekologis: Untung Apa Buntung ?
|
Bogor, Villagerspost.com – “Inilah neraka yang ada disekitar kita,” begitulah yang ditekankan oleh peneliti dan penggiat agroekologi Azwar Hadi Nasution. Kalimat itu dia lontarkan setelah memaparkan kondisi pangan dan pertanian Indonesia dalam Diskusi tematik yang berjudul ‘pertanian ekologis: Untung apa Buntung ?’ yang selenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Sabtu (19/11) di Mahataman Coffee kampus Institut Pertanian Bogor (IP) Dramaga Bogor.
Pada kesempatan diskusi ini, selain paparan materi dari narasumber juga ada sajian musik yang bertema pertanian dan lingkungan yang ditampilkan oleh grup musik Akar Bambu. Diskusi ini merupakan bagian dari Seminar Agroekologi Nusantara yang akan dilaksanakan pada tanggal 29 November 2016 di kampus Dramaga IPB.
Tentu sangat beralasan apa yang disampaikan oleh Bang Azwar–sapaan akrab dari Azwar Hadi Nasution, dalam paparannya terkait kondisi pertanian Indonesia saat ini. Pasalnya, kondisi pertanian Indonesia memang sedang dalam keadaan memprihatinkan.
Ketergantungan petani akan benih dan sarana produksi pertanian, serangan hama dan penyakit yang semakin kesini semakin kebal dengan pestisida, dan musnahnya predator alami hama, menjadi persoalan besar. Kemudian pangan kita yang cenderung tidak sehat karena didominasi oleh produk-produk Genetic Modified Organism (GMO), penggunaan pestisida yang tak terkontrol menjadi ancaman keberlangsungan pertanian di nusantara.
Belum lagi, pertanian nusantara juga dihadapkan pada berbagai masalah sosial-politik seperti konversi lahan pertanian yang masih berlanjut. Konversi lahan atas nama pembangunan ini, kata Azwar, telah memakan korban dari pihak petani. Misalnya dalam proyek pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) yang menimbulkan bentrokan antara petani yang mencoba mempertahankan lahan pertaniannya dengan aparat keamanan yang akan melakukan pengukuran lahan, pada pertengahan November ini.
“Para petani menolak pengukuran lahan sawah di Majalengka untuk dijadikan bandara internasional Jawa Barat. Berita ini menambah daftar neraka-neraka di sekeliling kita,” kata Azwar.
Daftar-daftar malapetaka pertanian tersebut akan lebih sempurna bila kita ditunjukan pada kondisi daya dukung lingkungan yang terus mengalami penurunan. Penurunan luasan hutan, kebakaran hutan dan perubahan iklim misalnya. Degradasi lingkungan dan penurunan produktifitas pangan sehat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Penurunan kualitas lahan dapat menyebabkan hasil pertanian yang tidak optimum. Pun demikian sebaliknya. Cara memproduksi komoditas pertanian yang tidak menggunakan prinsip-prinsip ekologi juga akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan.
“Itulah kondisi lingkungan dan pangan di sekitar kita. Sebagai generasi bangsa yang optimis, jangan sampai pikiran-pikiran ikut terdegradasi,” kata Azwar.
Strategi dan konsep untuk membalikkan kondisi menuju trend yang positif baik yang berkaitan pada lingkungan maupun pangan wajib terus dilakukan. Satu hal yang dapat dijadikan alat untuk membalikkan kondisi tersebut adalah Agroekologi. Konsep ini merupakan sebuah pendekatan pertanian yang dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi, metabolisme alam, sistem sosial dan budaya.
“Prinsip ini sesungguhnya pernah dan telah lama dilakukan oleh kakek-nenek kita di negara tercinta, Indonesia,” ujar Azwar.
Azwar menyampaikan, pertanian ekologis ini memiliki risiko diserang hama dan penyakit yang rendah. Selain hal itu kebutuhan modal yang harus disiapkan oleh petani juga rendah. Hal ini mengingat bahwa agroekologi mengutamakan penggunaan materi-materi organik yang tersedia di sekitar lahan dan langkah ini akan meningkatkan efisiensi produksi pertanian.
Hal senada juga disampaikan Putro, petani dari Bogor. Putro mengatakan, konsep agroekologi seperti pada pertanian yang memiliki komoditas polikultur yang terdiri dari banyak komoditas, misalnya penanaman jagung yang diberikan sela tanaman kacang hijau, Gliricidia (jenis perdu dari kerabat polong-polongan) dan diintegerasikan dengan ternak bebek dan sapi akan memberikan nilai tambah dan efisiensi produksi.
Ternak mendapatkan pakan dari hijauan yang ditanam sebagai tanaman sela atau tanaman windbreaker di pinggir lahan. kemudian, tanah dapat menjadi lebih subur dengan pemberikan kotoran yang dihasilkan oleh ternak. “Biaya produksi lebih efisien dengan hasil produksi yang cenderung lebih tinggi, yang berarti pendapatan bersih petani yang diterima akan lebih tinggi,” katanya.
Penanaman kacang hijau sebagai tanaman sela yang dipraktikkan oleh Putro di atas, juga berfungsi sebagai mulsa (material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit) yang melindungi tanah dari erosi dan memberikan tambahan nitrogen dalam tanah. Nitrogen tersebut akan bermanfat bagi pertumbuhan tanaman pokok yaitu jagung.
Selain itu, penggunaan tanaman windbreaker sebagai penahan angin yang akan mengurangi transpirasi (terlepasnya air dalam bentuk uap air) pada tanaman yang akan berpengaruh pada penghematan penggunaan air pada tanaman. Praktik-praktik tersebut akan menjadi satu-kesatuan yang lebih mantab apabila didukung dengan kelembagaan petani yang kuat.
Untuk melindungi petani dari harga jual produk yang sering melemah dan tidak tentu, peran kelembagaan petani menjadi penting. “Jaringan pasar dan pengemasan produk yang higienis akan memberikan nilai tambah bagi petani. Peran pendampingan itu hanya bisa dilakukan apabila kelembagaan petani ada dan kuat,” ujarnya.
Pada tataran gerakan, kata Putro, praktik agroekologi tidak bisa dilakukan secara individu-individu. “Konsep ini harus dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan situasi atau kebudayaan setempat serta melibatkan banyak para pihak,” ujarnya.
Sementara itu, Koordonator KRKP Said Abdullah mengatakan, agroekologi tidak dapat dipisahkan dengan kedaulatan pangan Indonesia, konsep ini dapat menjadi jawaban dari kegagalan konsep food security yang pernah diterapkan.
“Agroekologi perlu didorong untuk menguatkan petani, menjaga pangan kita yang beragam dan hasil yang berkelanjutan serta konservasi keanekaragaman hayati dan perbaikan ekosistem. Pada akhirnya yang kita harapkan adalah neraka-neraka seperti yang disampaikan oleh Bang Azwar merubah pada surga-surga yang memberikan keuntungan juga kebaikan bagi petani, lingkungan dan pangan untuk bangsa Indonesia,” tegas Said.
Laporan: Hariadi Propantoko, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan
Ikuti informasi terkait agroekologi >> di sini <<