Pertemuan G20 Harus Atasi Masalah Penggelapan Pajak Perusahaan Multinasional
|
Jakarta, Villagerspost.com – Pemimpin negara-negara yang tergabung dalam kelompok G20, pada akhir pekan ini (15-16 November) akan mengadakan pertemuan di Brisbane, Australia. Isu penting yang didorong untuk dituntaskan dalam pertemuan itu adalah memecahkan masalah semakin meningkatkan ketidakadilan sosial-ekonomi. Jika persoalan ini gagal dituntaskan, maka risikonya jutaan orang di dunia akan terperangkap dalam jurang kemiskinan.
Sebuah studi yang dirilis lembaga swadaya masyarakat internasional Oxfam baru-baru ini mengungkapkan di dunia saat ini terjadi peningkatan jumlah miliuner sebesar dua kali lipat sejak terjadinya krisis keuangan dunia. Pada saat yang sama, setidaknya satu juta ibu di dunia meninggal dunia saat melahirkan anak mereka akibat kurangnya layanan kesehatan.
Dalam laporan bertajuk “Akhiri Ketidakdilan Ekstrem” itu Oxfam menjabarkan bagaimana orang paling kaya di dunia memiliki uang lebih banyak dari yang mereka bisa belanjakan. Sementara pada sisi lainnya, ratusan juta orang tinggal dalam kemiskinan yang parah tanpa pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar yang memadai.
Sejumlah 85 orang terkaya di dunia memiliki nilai kekayaan yang setara dengan dengan harta kekayaan setengah dari seluruh orang termiskin di dunia. Kekayaan mereka meningkat hingga mencapai US$668 juta per tahun antara tahun 2013-2014 alias kekayaan mereka bertambah sebanyak setengah juta dolar AS per menit.
Laporan Oxfam ini merupakan pembukaan dari serangkaian kampanye yang dinama “Even It Up” untuk menekan pemimpin dunia untuk meninggalkan aksi retoris dan mulai melakukan aksi nyata agar masyarakat miskin mendapatkan keadilan.
Winnie Byanyima, Oxfam International Executive Director, ketimpangan yang ekstrem malah menjadi penghalang bagi kesejahteraan kebanyakan orang di planet ini. “Saat ini kekayaan hanya beredar terbatas di kalangan atas dan akan terus begitu sampai pemerintah bertindak. Kita tidak bisa membiarkan doktrin ekonomi pikiran sempit dan kepentingan diri para orang kaya dan berpengaruh membutakan kita,” kata Byanyima, dalam siaran pers yang diterima redaksi Villagerspost.com, Jumat (14/11).
Di seluruh dunia, kata Byanyima, jutaan orang sekarat karena tidak memiliki cukup layanan kesehatan. Juga jutaan anak di dunia putus sekolah, sementara sejumlah kecil elit memiliki uang berlebih dibanding yang mereka bisa belanjakan. “Ketimpangan menghalangi pertumbuhan, menimbulan korupsi politik, menghalangi peluang dan memicu instabilitas dan pada saat yang sama memperdalam jurang diskriminasi khususnya tehadap perempuan,” ujar Byanyima.
Terkait pertemuan G20, laporan Oxfam lainnya bertajuk “Turn The Tide” alias mengubah air pasang, Oxfam mengungkapkan alasan-alasan mengapa negara-negara G20 harus bertindak mengatasi ketidakadilan yang semakin meningkat. Dalam laporan Oxfam diungkapkan, sejak pemerintah Australia mengambil alih kepemimpinan G20 tahun 2013 lalu, total kekayaan negara-negara G20 meningkat sebesar US$17 triliun.
Tetapi sekitar 1 persen dari orang-orang terkaya yang menjadi penduduk di negara-negara G20 meraup kekayaan sebesar US$6,2 triliun dari jumlah kekayaan G20 itu. Angka itu merupakan peningkatan sebesar 36 persen dari jumlah kekayaan mereka sebelumnya.
Byanyima mengatakan, dengan ketimpangan yang semakin menonjol secara global dan dengan negara-negara G20 menjadi tempat tinggal dari lebih dari setengah penduduk termiskin dunia, maka G20 harus mengindahkan peringatan dari IMF, Bank Dunia dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). G20 harus mengakui ketimpangan ini telah membuat upaya memerangi kemiskinan keluar dari jalur dan mengancam pertumbuhan ekonomi.
“Ada konsesus yang semakin berkembang bahwa ketimpangan ini harus segera diperhatikan dan pemimpin-pemimpin G20 harus berada pada posisi membalik air pasang,” kata Byanyima.
“G20 harus menegaskan komitmennya untuk menetapkan strategi pertumbuhan inklusif dan bertindak nyata memerangi ketimpangan ketimbang secara sempit hanya berfokus pada GDP (Gross Domestic Product/Pendapatan Domestik Bruto-red),” ujarnya menambahkan.
Dia mengatakan, salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan menindak tegas penggunaan (sistem) surga pajak dan penggelapan pajak oleh perusahaan multinasional. Oxfam menghitung, negara-negara miskin kehilangan dana sebesar US$100 miliar setiap tahun akibat penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.
Byanyima mengatakan mandat G20 menjalankan reformasi pajak adalah langkah pertama yang baik, tetapi tidak akan membawa dampak baik bagi penduduk miskin lantaran mayoritas negara berkembang tidak punya tempat di meja perundingan. Demikian pula dengan peta jalan untuk meningkatkan keterlibatan negara-negara yang bukan anggota G20 atau OECD cukup disambut baik.
Namun aksi itu dinilai masih gagal merekonsiliasikan fakta bahwa pemerintah yang mewakili sepertiga populasi dunia ditolak untuk memiliki suara yang sama dalam reformasi aturan pajak global. Isu kunci yang harus diperhatikan termasuk persaingan pajak antar negara, dimana negara-negara miskin (terpaksa) menurunkan tarif pajaknya untuk menarik investasi asing.
Sebagai contoh, di tahun 2012 insentif pajak untuk perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Sierra Leone setara dengan 59% anggaran negara tersebut. Angka itu delapan kali lebih besar dari anggaran belanja kesehatan Sierra Leon.
Soal ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh kelakuan perusahaan multinasional yang kerap melakukan penggelapan dan penghindaran pajak ini memang penting diperhatikan. Laporan Oxfam mengungkapkan, retribusi sebesar 1,5 persen saja dari kekayaan para miliuner dunia akan dapat meningkatkan dana yang cukup setiap tahun untuk memastikan anak-anak di negara miskin dapat bersekolah dan memberikan layanan kesehatan yang baik.
Investasi pada pelayanan publik akan sangat krusial untuk menutup jurang antara kaya dan miskin yang semakin menganga. Setiap tahun 100 juta orang menuju ke jurang kemiskinan karena mereka terpaksa harus membayar layanan kesehatan. Anatara tahun 2009-2014 setidaknya satu juta perempuan meninggal dunia saat melahirkan karena minimnya layanan kesehatan. Belum lagi masalah biaya pendidikan yang sering kali dikecualikan.
Di Ghana, misalnya, masyarakat termiskin harus mengeluarkan 40 persen dari penghasilannya hanya untuk menyekolahkan anak mereka ke sekolah berbiaya murah. Hal ini menegaskan perlunya menyediakan pendidikan murah untuk semua.
Padahal jika tiga orang saja orang terkaya dunia masing-masing membelanjakan uangnya sebesar US$1 juta sehari, maka perlu 200 tahun untuk menghabiskan seluruh kekayaan mereka. Sehingga cukup aneh jika mereka tak mau menyisihkan kekayaannya melalui pembayaran pajak agar negara bisa menyediakan pelayan sosial yang baik bagi warga miskin.
Ini bukan kisah dari negara kaya. Faktanya saat ini ada 16 orang miliuner di Sub Sahara Afrika, diantara 358 juta yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Sementara ketimpangan sosial-ekonomi di Afrika Selatan saat ini malah lebih besar terjadi dibanding di masa Apartheid alias politik pemisahan kelas antara warga kulit putih dan kulit hitam. (*)