Perusahaan Sawit Raksasa Picu Kebakaran Hutan Kalimantan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Greenpeace Internasional merilis hasil penelitian terbaru yang mengungkapkan aksi perusahaan minyak sawit dalam merusak hutan di Kalimantan. Laporan Greenpeace mengungkapkan, raksasa sawit yang berlabel “berkelanjutan” ternyata telah merusak hutan dan lahan gambut yang memicu kebakaran hutan di Kalimantan.
Peneliti dari Greenpeace menyelidiki tiga perkebunan di Kalimantan Barat dan Tengah (Borneo Indonesia) dimana terjadi kebakaran besar yang tercatat selama krisis kabut asap tahun 2015. Hasilnya diketahui, dalam setiap kasus, kebakaran hutan selalu diikuti dengan deforestasi yang meluas dan drainase lahan gambut.
Greenpeace melakukan penilaian menyeluruh pada data resmi tutupan hutan Pemerintah Indonesia dari tahun 1990 sampai 2013. Pada masa ini, 31 juta hektar hutan Indonesia telah dihancurkan-hampir setara dengan luas negara Jerman. Kelapa sawit merupakan penyebab utama perusakan hutan hujan dan habitat orangutan.
Seperempat hutan Indonesia telah hancur sejak tahun 1990, sebagian besar untuk kertas dan kelapa sawit. Deforestasi dan degradasi lahan gambut secara luas diakui sebagai akar penyebab krisis kebakaran, termasuk oleh anggota pemerintah Indonesia.
“Dalam hidup saya, lebih dari seperempat dari hutan Indonesia telah dijarah. Masyarakat Indonesia menerima akibatnya, dengan menghancurkan hutan yang menyebabkan bencana asap dan berdampak pada jutaan orang. Semua dilakukan hanya untuk memberi suplai permintaan global untuk minyak sawit murah, kertas dan kayu,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (19/11).
Konsesi perkebunan yang diselidiki oleh Greenpeace diketahui milik IOI Group, Bumitama Group dan kelompok Alas Kusuma. Perusahaan-perusahaan ini adalah anggota dari badan sertifikasi terkemuka berkelanjutan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Forest Stewardship Council (FSC).
Greenpeace menyerukan kepada RSPO dan FSC untuk menyelidiki temuan dan mengeluarkan perusahaan-perusahaan ini jika mereka terbukti telah menghancurkan hutan dan lahan gambut atau memainkan peran dalam krisis kebakaran hutan. Minyak kelapa sawit dari perkebunan ini dipasok ke pasar internasional melalui pedagang komoditas termasuk Wilmar International, IOI Loders Croklaan dan Golden Agri Resources.
Pedagang tersebut memasok minyak sawit untuk merek dengan kebijakan “Nol Deforestasi”. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana anggota Barang Forum Konsumen dan perusahaan lain akan memenuhi komitmen yang dibuat untuk pelanggan mereka agar tidak membeli komoditas yang terkait dengan deforestasi.
Kasus-kasus ini mengekspos kegagalan sistemik oleh sektor perkebunan Indonesia dalam mengakhiri deforestasi. Langkah-langkah yang telah diambil untuk perusahaan saat ini tidak cukup untuk menghentikan mereka dari pemasok hutan untuk menghancurkan dan lahan gambut.
Oleh karena itu Greenpeace menyerukan bagi para pedagang komoditas dan perusahaan yang membeli minyak sawit dan pulp dari Indonesia untuk bekerja sama menegakkan larangan deforestasi dan pengembangan lahan gambut.
“Semua orang berbicara tentang mengakhiri deforestasi tapi kerusakan telah dilakukan. Sekarang kita perlu tindakan, bukan udara panas. Segala sesuatu yang telah terbakar harus dipulihkan, tidak ditanami kayu pulp dari minyak sawit,” Annisa melanjutkan.
Dia menegaskan, perusahaan harus mempublikasikan peta mereka, sehingga kita semua dapat melihat siapa yang masih mencemari hutan hujan Indonesia. “Siapapun yang terus membuka hutan hujan dan mengeringkan lahan gambut harus dikeluarkan dari pasar. Jika tidak kehancuran ini akan berlanjut sampai tidak ada lagi hutan hujan yang tersisa untuk dilestarikan,” tegasnya.
Pada bulan lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo berjanji untuk melarang pembukaan lebih lanjut pada lahan gambut, termasuk dalam konsesi yang ada. Sebuah moratorium izin konsesi baru di lahan gambut telah berada di tempat selama beberapa tahun, tetapi sering diabaikan oleh pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten, dimana alokasi lahan sering dikaitkan dengan korupsi, terutama pada saat pemilihan.
Salah satu konsesi perkebunan yang diselidiki oleh Greenpeace memiliki izin lahan yang statusnya sedang dibahas dalam moratorium. (*)