Petani dan Nelayan Bali Keluhkan Dampak PLTU Celukan Bawang

Spanduk membentang, menegaskan pengakhiran energi batubara (dok. greenpeace indonesia)

Jakarta, Villagerspost.com – Sidang gugatan Greenpeace Indonesia dan masyarakat Bali terhadap Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor: 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang, sudah memasuki babak akhir. Setelah melalui 11 kali persidangan, hari ini, Kamis (2/8) sidang masuk kepada agenda penyerahan kesimpulan. Sedangkan sidang putusan akan diadakan pada 16 Agustus 2018 mendatang.

Sidang dihadiri sejumlah perwakilan masyarakat Celukan Bawang yang menggunakan ikat kepala dengan pesan Tolak PLTU Batubara, dan Polusi Bukan Solusi. Usai sidang, sejumlah perwakilan masyarakat Celukan Bawang menyambangi kantor DPRD Bali untuk melakukan rapat dengar pendapat bersama anggota dewan. Kedatangan masyarakat diterima oleh Sugawa Korry, Wakil Ketua DPRD Propinsi Bali.

Perwakilan masyarakat yang datang ke dalam rapat tersebut di antaranya I Ketut Mangku Wijana sebagai perwakilan dari profesi petani serta Baidi Suparlan dan I Putu Gede dari profesi nelayan. Di hadapan anggota dewan, para petani dan nelayan mengeluhkan dampak beroperasinya PLTU Celukan Bawang dan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika perluasan PLTU tersebut dilaksanakan.

“Hasil tangkapan kami sudah menurun drastis, sebelum ada PLTU beroperasi tangkapan kami bisa 200-300 ember, 1 ember kapasitasnya 15 kilogram, dan harganya sekitar 300-400 ribu rupiah. Namun sejak PLTU Tahap 1 beroperasi, kami harus berlayar jauh ke tengah, sehingga biaya operasional kami membengkak,” kata I Putu Gede, perwakilan dari nelayan, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com.

“Saya sudah merasakan sendiri dampaknya. Sebagai petani kelapa, pohonkelapa di kebun saya banyak yang kering, buahnya mengecil sejak ada PLTU. Sudah tidak bisa diandalkan,” tegas Mangku Wijana.

Perwakilan masyarakat meminta kepada DPRD Bali untuk membantu mereka agar mencabut izin rencan perluasan yang sudah diterbitkan tersebut. “Rencana perluasan sama sekali tidak pernah melibatkan warga. Warga yang hadir hanya 23 orang, itupun hanya di Pungkukan, dan ini sudah diakui oleh Kades mereka sendiri,” ujar Putu Dewa Adnyana, Direktur LBH Bali.

“Ini membuktikan bahwa proses sosialisasi tidak melibatkan warga, sehingga warga kehilangan hak partisipasi dan tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh rencana perluasan tersebut,” tegasnya

Menanggapi keluhan dan aduan petani, Sugawa menyatakan akan menindaklanjuti laporan masyarakat. “Kami juga akan mengecek kondisi di lapangan secara langsung,” tegasnya.

Sementara itu, terkait materi persidangan, dalam kesempatan itu, kuasa hukum penggugat I Wayan Gendho Suardana menegaskan adanya kejanggalan dalam proses sosialisasi terkait perizinan PLTU. “Proses sosialisasi terkesan formalitas, tidak sesuai prosedur, dan tidak sesuai asas partisipasi,” tegas Gendo.

Gendo menekankan, proses penyusunan AMDAL tidak dilakukan dengan hati-hati, karena banyak sekali yang menyalahi prosedur, dan tidak sesuai dengan hukum yang sah. “Salah satunya adalah penyusunan dokumen AMDAL juga diketahui tidak merujuk pada rencana zonasi pesisir (RZWP3K), selain itu dampak buruk yang dirtimbulkan oleh PLTU akan mengancam spesies kunci seperti lumba-lumba dan paus,” tambahnya.

Perluasan PLTU Celukan Bawang akan memperburuk kualitas lingkungan yang sudah tercemar oleh PLTU yang sudah beroperasi saat ini, sehingga dampaknya harus dihitung secara akumulatif. Terlebih lagi ternyata rencana perluasan PLTU Celukan Bawang tahap 2 ini, tidak masuk ke dalam dokumen penyediaan tenaga listrik RUPTL milik PLN.

Berdasarkan data permodelan yang dilakukan oleh Greenpeace, PLTU yang ada saat ini telah meningkatkan risiko kematian dini 190 jiwa per tahun. Jika PLTU lolos untuk diperluas, maka risiko kematian dini meningkat menjadi 300 per tahun. Dengan menghitung masa operasi PLTU hingga 30 tahun, maka jika diakumulasi angkanya naik menjadi 19.000 kematian dini.

Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Didit Haryo mengatakan, dampak yang sudah dirasakan oleh masyarakat Celukan Bawang sudah sangat nyata. “PLTU Tahap 1 yang sudah beroperasi telah mengotori laut mereka, mengancam mata pencaharian, serta mengakibatkan kualitas udara menjadi buruk. Apalagi jika rencana perluasan jadi dibangun, maka dampak yang akan dirasakan tentu akan bertambah dua kali lipat,” ujar Didit.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.