Petani Kopi Lereng Merapi, Kembangkan Budidaya Kopi Organik
|
Jakarta, Villagerspost.com – Para petani kopi di lereng Gunung Merapi, di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, mengembangkan budidaya tanaman kopi secara organik. Pelaksanaan program ini ditandai dengan penanaman 2.700 bibit pohon kopi Arabica Sigararutang, bantuan dari pemerintah, Minggu (21/3).
Dalam acara tersebut, selain petani kopi, hadir pula para pengelola kedai kopi dari berbagai daerah, di antaranya, Jakarta dan Solo. Salah satu warga Desa Sidorejo Sukiman, mengatakan, tujuan para petani melibatkan teman-teman pengelola kafe kopi agar mereka ikut merasakan menanam kopi.
“Jadi tidak hanya mengolah kopi di kafe mereka tetapi juga tahu persis proses penanaman hingga pengolahan oleh petani,” kata Sukiman.
Dia mengatakan, mengatakan, penanaman bibit kopi itu sekaligus mengawali pengembangan kopi organik di wilayah Sidorejo di lereng Gunung Merapi yang berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Perlakuan budidaya ribuan bibit kopi itu dilakukan tanpa menggunakan bahan kimia alias selurunya menggunakan bahan organik. Dengan perlakuan itu, dia berharap melalui proses organik itu cita rasa kopi yang ditanam di lereng Merapi bisa semakin menunjukkan ciri khasnya.
“Dari Merapi sudah memberikan kami pupuk organik yakni abu vulkanik. Harapannya kopi dari wilayah kami bisa semakin bercerita dengan kekhasan kopi vulkano. Kami edukasi terus petani dan nanti kami berharap lahan-lahan di wilayah kami bisa bersertifikat organik,” paparnya.
Penanaman dilakukan menyebar di kebun milik anggota kelompok tani Ngudi Rukun serta kawasan hutan rakyat dengan total luas lahan yang ditanami bibit kopi mencapai 20 hektare.
Bibit kopi yang ditanami ditargetkan bisa dipanen dua tahun mendatang. Pada tahun ketiga, kopi yang dipanen diharapkan bisa sesuai standar kopi yang beredar di pasaran.
Sukiman bercerita, sejak 2014, sukarelawan di Komunitas Radio Lintas Merapi mencoba membangkitkan kembali budidaya kopi dan mengembalikan kejayaan kopi Merapi pada era 1980-1990an. Ada sekitar 41 ha lahan di wilayah Sidorejo, Klaten, yang ditanami kopi.
Namun, lantaran harga kopi hasil panen dibeli harga murah, petani tak lagi tertarik menanam kopi dan mulai menebangi pohon-pohon kopi yang mereka tanam. Tanaman kopi tersisa sekitar 10 persen saja dan ditanam hanya di pinggir-pinggir lahan.
“Saat itu harga kopi hanya dijual Rp600 per kg untuk biji basahnya. Sementara, yang sudah green beans Rp18.000 per kg,” ujar Sukiman.
Lewat kerja sama dengan pihak komunitas, kemudian petani mencoba membangkitkan kembali budidaya kopi. Kopi hasil panen petani dibeli komunitas seharga Rp8.000 per kg untuk biji kopi basah dan Rp60.000 per kg untuk green beans.
Sementara, harga penjualan kopi senilai Rp2.500 untuk biji kopi basah dan Rp25.000 per kg untuk green beans. Komunitas lantas menjual kopi hasil produksi itu bernama Kopi Petruk. Sukiman sendiri, ikut mengembankan produk Kopi Petruk.
Kini petani kopi telah bangkit kembali. Pemasaran kopi sudah menjangkau ke berbagai wilayah hingga ke luar negeri terutama ke Jepang. “Dulu (sebelum ada pandemi Covid-19), kami bisa memasarkan 2 kuintal per bulan. Tetapi saat ini hanya sekitar 10 kg per bulan karena banyak kedai kopi yang tutup,” pungkas Sukiman.
Editor: M. Agung Riyadi