PLTA Tampur di Kawasan Ekosistem Leuser Ancam Habitat Gajah Sumatera
|
Jakarta, Villagerspost.com – Aktivis dan pakar lingkungan mengecam pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur yang telah mendapatkan izin pinjam pakai kawasan di Kabupaten Aceh Tamiang, Gayo Lues, dan Aceh Timur, Provinsi Aceh. Pembangunan PLTA Tampur yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tersebut dinilai akan merusak habitat gajah Sumatera, mengancam kelangsungan hidup dan mata pencarian penduduk yang hidup di hilir sungai Tamiang serta melanggar aturan perizinan.
Analis Perlindungan Bentang Alam dari Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) Riswan Zein memaparkan, mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan. Kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser.
“Lembah Sungai Lesten yang akan digenangi waduk merupakan koridor jelajah yang sangat penting untuk populasi gajah Sumatera, koridor tersebut akan putus total karena topografi yang sangat terjal, hal ini akan mendorong populasi ini ke arah kepunahan,” ujar Riswan, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (30/8).
Selain dampak ekologis, Riswan menambahkan beberapa risiko sosial dan bencana yang akan timbul akibat pembangunan PLTA. “Menurut dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) yang dikeluarkan oleh PT Kamirzu, luas genangan diperkirakan mencapai 4.090 hektare dan untuk memenuhi genangan seluas area tersebut membutuhkan waktu hingga satu tahun, sudah bisa dipastikan 50% desa yang berada di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang akan mengalami kekeringan hebat selama kurun waktu tersebut,” ungkap Riswan.
Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi untuk jebol dan menelan banyak korban jiwa hingga membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir.
“Tercatat secara historis telah terjadi beberapa gempa besar, sekitar 6.0 SR di sekitar lokasi bendungan, semakin tinggi bendungan menahan tekanan air dalam jumlah besar akan semakin berisiko untuk jebol dan membanjiri masyarakat yang hidup di hilir, kita tentu tidak menginginkan bencana jebolnya bendungan yang terjadi di Laos pada bulan Juli 2018 lalu terjadi juga di Indonesia,” ujar Riswan.
Tidak hanya merusak dan berpotensi menimbulkan bencana, rencana pembangunan PLTA Tampur ini juga menuai polemik terkait proses perizinan. Tim Legal Yayasan HAkA M. Fahmi mengungkapkan, izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang digunakan oleh PT Kamirzui tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Karena berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, IPPKH hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri berdasarkan permohonan,” ujarnya.
Peraturan menteri yang dimaksud adalah Permen LHK Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016. Dalam aturan tersebut menteri memang bisa memberikan kewenangan kepada gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah. “Tapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat non komersial dengan luas paling banyak lima hektare, sedangkan proyek ini sudah dipastikan menggunakan kawasan hutan lebih dari lima hektare,” ujar Fahmi.
Selain itu, izin tersebut juga tidak termasuk dalam kategori fasilitas umum yang bersifat non komersial seperti yang disebutkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.5/VII-PKH/2014. Terlebih, dalam jangka waktu yang sudah diberikan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak Surat Keputusan Gubernur diterbitkan, PT Kamirzu juga belum dapat menunjukkan data pendukung yang ditentukan.
Data-data yang dimaksud yaitu pertama, tata batas areal izin pinjam pakai kawasan hutan disupervisi oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh dan tidak dapat diperpanjang. Kedua, peta lokasi penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Ketiga, baseline penggunaan kawasan hutan sesuai dengan hasil tata batas. Keempat, penyelesaian relokasi Desa Lesten. Kelima, pernyataan dalam bentuk akta notaris bersedia mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini menjadi batal dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, menurut Fahmi, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini sudah seharusnya dicabut dan pemegang izin dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan, apabila pemegang izin tidak memenuhi kewajiban dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam izin ini.
“Kami juga meminta agar pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tidak mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan terkait pembangunan PLTA Tampur,” jelas Fahmi.
Dia juga menekankan, pihaknya bersama dengan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH) akan menempuh jalur pidana apabila dalam masa tidak berlakunya IPPKH masih ditemukan adanya aktivitas penebangan pohon ataupun pengangkutan alat berat di wilayah proyek PLTA Tampur.
Sementara itu masyarakat yang tinggal di hilir sungai Tamiang mulai merasa cemas menanggapi rencana pembangunan PLTA Tampur ini. “Kami masyarakat Tamiang merasa cemas karena kami trauma dengan kejadian banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang di tahun 2006. Bukannya kami anti pembangunan, hanya saja jangan disitu, masih banyak tempat-tempat lain yang bisa menghasilkan listrik tanpa merusak hutan dan menimbulkan bencana,” ungkap Matsum warga Aceh Tamiang yang memulai petisi.
Matsum membuat petisi “Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa” di laman Change.org. Petisi tersebut dapat dilihat pada tautan change.org/TolakPLTATampur dan sudah mendapatkan lebih dari 5000 dukungan yang terus bertambah.
Editor: M. Agung Riyadi