Privatisasi Pesisir dan Pulau Kecil, Pemerintah Gadaikan Nasib Nelayan dan Kedaulatan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan mengizinkan pihak asing masuk dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal itu dituangkan pemerintah lewat penyusunan Rancanan Peraturan Pemerintah (RPP) Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lewat beleid tersebut, pemerintah juga dinilai telah menggadaikan nasib nelayan dan juga kedaulatan bangsa.
“Privatisasi melalui pemberian hak menguasai negara kepada investor asing dalam bentuk izin akan mengusir dan menggusur nelayan dan masyarakat pesisir setempat,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (16/4).
Halim mengatakan, terdapat empat alasan untuk menyatakan keberatan atas disusunnya RPP yang jelas dibuat hanya untuk memberikan karpet merah bagi investasi modal untuk menguasai (privatisasi) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu. Pertama adalah adanya putusan MK Nomor 3/PUU – VIII/2010 Tanggal 16 Juni 2011.
Putusan itu membatalkan membatalkan pasal-pasal terkait HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) dalam UU No 1 Tahun 2014 tentang Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Mengacu putusan MK ini, maka keberadaan RPP itu bertentangan dengan undang-undang.
“Dalam pertimbangannya, majelils hakim kontitusi secara tidak langsung mendeklarasikan pengakuan hak-hak nelayan tradisional, yaitu mengakses, memanfaatkan dan mengelola lingkungan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil serta hak untuk mendapatkan sumber daya yang bersih dan sehat sehingga RPP ini pada dasarnya telah salah dari dasar pikiran pembuatannya,” urai Halim.
Kedua, tidak adanya perlindungan terhadap nelayan tradisional skala kecil serta masyarakat lokal. Hal ini dilihat dari tidak adanya pasal-pasal yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hak-hak nelayan tradisional skala kecil dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Jikapun ternyata di kemudian hari terjadi pelanggaran hak oleh pemegang izin tidak ada sanksi yang jelas atas pelanggaran tersebut. “Hak akses minim yang telah diakui Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pun tidak dilindungi oleh RPP tersebut,” kata Halim.
Ketiga, RPP ini jelas melanggar UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria sebagai peletak prinsip dasar pengelolaan atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. RPP ini bertentangan terhadap prinsip penguasaan tanah yang mengakui masyarakat yang telah mengelola secara turun-temurun.
Keempat, RPP ini menabrak Pedoman Perlindungan Nelayan Skala Kecil FAO 2014, di mana Pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam pembahasannya. VGSSF telah memberikan pedoman untuk melindungi nelayan skala kecil melalui tujuh aspek, yaitu: (1) Perlindungan Hak Penguasaan (hak tenurial) atas sumber-sumber penghidupan, (2) Pembangunan sosial, ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak,(3) Mata rantai perdagangan yang adil, (4) Pengembangan kapasitas, (5) Keadilan Gender, (6) Perlindungan terhadap risiko bencana dan perubahan iklim, dan (7) Pengelolaan berkelanjutan.
Halim menilai, negara seharusnya tidak memainkan peran seperti pengusaha, usahawan atau ordernemer (dalam bahasa Belanda) yang mengedepankan profit/rente. Pemerintah seharusnya malah memfasilitasi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil untuk mendapatkan akses pemenuhan hak-hak konstitusionalnya untuk hidup adil, makmur dan sejahtera.
“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 justru menjadi alat penghisapan masyarakat lemah, seperti nelayan dan masyarakat pesisir lainnya, oleh orang yang bermodal atau investor,” pungkas Halim.
Sikap yang sama juga ditunjukkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Ketua Umun KNTI Riza Damanik mengatakan, KNTI menyayangkan keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan melanjutkan pelibatan investasi asing dalam pengusahaan 100 pulau-pulau kecil Indonesia. “Jumlahnya bahkan direncanakan bertambah hingga 300 pulau,” kata Riza kepada Villagerspost.com, Kamis (16/4).
“Langkah ini tidak saja bertolak belakang dengan visi (awal) Pemerintahan Jokowi maupun visi KKP 2015-2019, yakni mewujudkan Indonesia berdaulat, tetapi juga berbahaya bagi kepentingan Indonesia ke depannya,” tegasnya.
Kasus perbudakan terhadap lebih dari 1.000 warga asing di Benjina, Maluku, kata Riza, seharusnya cukup menjadi pelajaran buruk bahwa membuka investasi asing di pulau-pulau kecil adalah sebuah kecerobohan. Bukan saja karena infrastuktur pengawasannya yang minim dan menyebabkan kekayaan laut sulit dikendalikan, namun juga memiliki kecendrungan berdimensi kejahatan lintas negara, seperti pencurian ikan, perbudakan, perdagangan manusia, bahkan narkoba.
Karena itu, kata dia, KNTI mendesak KKP untuk meninjau ulang fasilitasi investasi asing di pulau-pulau kecil. KNTI mendesak pemerintah dan DPR untuk bersama-sama mengoptimalkan Program Legislasi Nasional 2015-2019 untuk memperluas substansi revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan mengoreksi Pasal 26A terkait keterlibatan investasi asing dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni.
KNTI juga mendesak pemerintah segera merevisi Peraturan Presiden No.39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal untuk memasukkan usaha penangkapan ikan ke dalam daftar negatif investasi asing.
“KNTI menyerukan kepada organisasi nelayan, masyarakat pesisir, dan penyelenggara negara di seluruh tingkatan untuk bersama-sama mewujudkan demokratisasi pengelolaan laut dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia,” tegas Riza. (*)