Pro Investasi Skala Besar, KPA Kritik Visi Agraria Jokowi

Aktivis dan petani menuntut penuntasan konflik agraria (dok. jatam.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Pidato Presiden Joko Widodo terkait ‘Visi Indonesia’ yang diucapkan pada 14 Juli lalu, kembali menuai kritik. Kali ini Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, pidato Jokowi itu memberikan sinyal bahwa langkah pemerintah ke depan lebih fokus kepada investasi skala besar. “Visi semacam ini akan diskriminatif terhadap rakyat banyak,” kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (19/7).

Dewi memaparkan, dalam pidato politiknya, Jokowi menyampaikan setidaknya tiga poin pokok yang patut dicermati juga diwaspadai, yakni perluasan investasi, pembangunan infrastruktur dan reformasi birokrasi. “Ketiga pokok visi ini penting dikritisi,” tegasnya.

Disebutkan perlunya ‘cara baru’ dan ‘inovasi’ lalu ‘meninggalkan cara-cara serta pola-pola lama’ dalam mengelola lembaga dan penyelenggaraan pemerintahan ke depan. Akan tetapi, reformasi birokrasi ini disandarkan pada upaya membuka seluas-luasnya investasi, kemudahan izin bagi investor dan pengembangan serta perluasan pembangunan infrastruktur.

“Pidato luput menyampaikan masalah struktural agraria dan keadilan sosial, sekaligus memvisikan tentang bagaimana pemerintah ke depan, mendorong cara baru, terobosan baru untuk menjawab masalah-masalah struktural tersebut. Tak ada inovasi atau cara baru untuk penyelesaian masalah-masalah akut agraria Indonesia,” ujar Dewi.

KPA menilai, ada beberapa langkah yang harus dilakukan Jokowi untuk mewujudkan visi Indonesia. Pertama adalah investasi berbasiskan kerakyatan. “Pidato Jokowi menyebutkan visinya ke depan adalah perluasan investasi sebesar-besarnya. Kami khawatir, pidato presiden tentang perluasan investasi hanya memandang bahwa investasi beserta segala keistimewaan kemudahannya itu adalah investasi swasta besar dan asing yang hendak diutamakan,” papar Dewi.

Padahal, ujar dia, investasi semacam ini telah terbukti membuat masyarakat luas kehilangan tempat hidup dan mata pencaharian utama mereka. “Tidak sebanding dengan penciptaan lapangan kerja yang dijanjikan,” tambahnya.

Atas visi ini, KPA memandang seharusnya presiden menerjemahkan perluasan investasi ini adalah membuka seluas-luasnya pintu bagi rakyat Indonesia melalui koperasi rakyat, koperasi petani, koperasi nelayan, badan usaha milik desa, atau badan usaha milik rakyat lainnya sebagai pelaku utama ekonomi nasional. “Di agraria, khususnya pertanian, perkebunan, kehutanan, pesisir kelautan dan pulau-pulau kecil sudah saatnya rakyat lah yang diutamakan,” tegasnya.

Karena itu, program yang lalu seperti moratorium izin sawit, konversi hutan primer, dan larangan penggunaan gambut haruslah dilengkapi dengan perbaikan iklim investasi bagi badan usaha milik rakyat. KPA membayangkan, ‘Visi Indonesia’ ke depan justru seharusnya menghadirkan badan-badan usaha modern yang dimiliki oleh rakyat, dan keuntungannya mengalir di tengah-tengah rakyat untuk menciptakan keadilan sosial. Inilah kebaruan yang seharusnya divisikan Presiden ke depan.

Visi Indonesia lainnya soal investasi adalah, bukan sekadar soal investasi akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya, dimana mayoritas rakyat Indonesia menjadi buruhnya. Sementara perluasan badan-badan usaha besar milik swasta dan asing berkembang begitu pesat menguasai jutaan hektar tanah di Indonesia.

“Di lapangan agraria, koperasi-koperasi banyak yang dibentuk hanya sebatas kepanjangan tangan korporasi, atau para elit di daerah. Menyebabkan menguatnya ketimpangan, konflik agraria, proletarisasi petani dan masyarakat desa, serta membengkaknya tenaga kerja migran Indonesia akibat kemiskinan di pedesaan,” ujarnya.

Oleh karena itu, salah satu terobosan baru yang penting dilakukan dalam lima tahun ke depan, salah satunya adalah menggeser paradigma tentang Hak Guna Usaha (konsesi perkebunan). “Melengkapi langkah moratorium dan evaluasi atas HGU kepada korporasi bermasalah, HGU ke depan sudah seharusnya diutamakan dan diarahkan bagi usaha-usaha kolektif kerakyatan, koperasi milik rakyat secara gotong royong, bukan korporasi,” papar Dewi.

Artinya kembali kepada spirit UUPA 1960. Dengan begitu, transformasi sosial di pedesaan dapat dicapai dengan mendorong transformasi sistem perkebunan Indonesia. “Dari model lama, yakni dari hulu ke hilir, dari kuasa tanahnya hingga pasarnya dikuasasi korporasi, menjadi model baru yakni kebun-kebun rakyat dikuatkan dan dilindungi, sementara korporasi hanya menjadi penopang hasil produksi dan akses pasar,” tegas Dewi.

Dewi mengatakan, KPA memahami bahwa investasi memang penting. “Tetapi bukan untuk investor-investor besar yang puluhan tahun telah menerima banyak previledge dari negara,” jelasnya.

Agar iklim investasi berbasiskan rakyat ini dapat diwujudkan, maka ada beberapa hal yang harus dilaksanakan pemerintah. Pertama, perlindungan tanah dan wilayah tangkap sebagai basis produksi yang utama bagi petani dan nelayan kecil. Kedua, ilmu pengetahuan, kemudahan fasilitas modal yang meringankan, transfer teknologi dan inovasi. Ketiga, proteksi pasar yang berkeadilan dan menyejahterakan, penghilangan diskriminasi sosial-ekonomi-politik terhadap profesi petani, nelayan, termasuk perempuan petani dan perempuan nelayan.

Keempat, serta perlindungan terhadap organisasi/serikat yang mereka bangun. Kelima, beasiswa bagi pemuda-pemudi desa keluarga petani untuk mencetak kader-kader petani muda yang akan ikut membangun desa di masa depan. Keenam, membangun kultur memuliakan petani di negeri agraris. “Hal-hal ini adalah keistimewaan investasi kepada rakyat, yang sudah sepatutnya menjadi Visi Indonesia ke depan,” tegas Dewi.

Selain itu, cara baru yang diharapkan adalah, proses-proses penerbitan izin dan hak konsesi kepada badan-badan usaha perkebunan dan kehutanan skala besar, proses tukar guling
kawasan, konversi tanah dan kawasan hutan harus lah berhati-hati, dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.

Bahkan sangat mendesak dilakukan segera evaluasi dan investigasi secara menyeluruh terhadap proses penerbitan, maupun izin-izin lama dan baru yang bermasalah, yang telah menimbulkan konflik dan secara manipulatif hingga cara memaksa mengambil alih wilayah hidup masyarakat. “Itulah visi dan terobosan baru yang dinantikan rakyat!” pungkasnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.