Produksi Garam Ramah Lingkungan Cara Desa Watumbaka
|
Sumba Timur, Villagerspost.com – Krisis garam yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia membuat pemerintah melakukan impor garam sampai sebanyak 75 ribu ton dari Australia. Keputusan mengimpor garam ini dinilai ironis oleh sebagian pihak mengingat, lautan Indonesia yang begitu luas dengan garis pantai yang panjang. Masalah cuaca pun sebenarnya tak menjadi masalah lantaran wilayah Timur seperti di Nusa Tenggara Timur, khususnya wilayah seperti Sumba, merupakan wilayah semi arid yang jarang hujan sehingga cocok untuk produksi garam.
Kondisi ini rupanya disadari benar oleh para petani di Desa Watumbaka, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur. Jika bagi petani padi dan sayur ketiadan hujan merupakan bencana, bagi petani garam di desa itu, ketiadaan hujan justru menjadi “berkah” karena mereka bisa memproduksi garam.

Maka sekelompok petani yang terdiri dari 28 KK yang diketuai oleh Hamid pun berupaya mewujudkan “mandiri garam” dengan memproduksi garam secara ramah lingkungan meski dalam skala desa bagi warga Watumbaka. Mereka mencoba membuat sebuah terobosan baru dalam membuat garam. Prosesnya tidak direbus dengan menggunakan kayu bakar seperti biasanya.
“Andaikan beli kayu bakar harus mengeluarkan Rp300.000/truk. Sedangkan jika mencari sendiri, misalkan suami dan isteri butuh waktu dan tenaga yang banyak, dari sisi produksi pun sedikit,” ujar Hamid, sebagai ketua kelompok tani Watumbaka, kepada Villagerspost.com, Sabtu (5/8).
Para petani memanfaatkan sinar matahari untuk menguapkan air laut dan menghasilkan garam. Proses pembuatan garam dengan teknologi baru yang diperkenalkan ini merupakan kerja sama MCA Indonesia sebagai donor dengan Konsorsium Blue Carbon Consortium (BCC) yang terdiri dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir & Lautan (PKSPL-IPB), Yayasan Pemberdayaan & Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) dan Transform Lombok.

Deni Karanggulimu, penanggung jawab BCC Sumba, NTT mengatakan, tujuan pengenalan teknologi matahari ini adalah untuk mengurangi emisi karbon sebagai penyebab perubahan iklim. “Konsorsium ini termasuk dalam Window Pengetahuan Hijau (Green Knowledge), sedangkan salah satu kegiatannya adalah mengumpulkan serta menyebarkan pengetahuan hijau. Ada 8 demoplot di Pulau Sumba ini, salah satunya ya di Watumbaka ini,” kata Deni.
Lebih lanjut Deni Karanggulimu memaparkan, dengan adanya teknologi yang dikenalkan pada petani, ini banyak sekali keunggulan dan keuntungan yang diperoleh. Seperti memanfaatkan energi matahari untuk mengurangi penggunaan kayu bakar. Kedua, bisa menghemat waktu dan tenaga. Ketiga, produksi yang dihasilkan bisa lebih banyak. “Kemudian, garam yang dihasilkan akan lebih bersih bila dibandingkan dengan menggunakan tanah secara langsung,” paparnya.

Cara atau pola pembuatan garam “hijau” dengan memanfaatkan sinar matahari ini sebenarnya cukup sederhana, yaitu sistem tambak dengan menggunakan terpal plastik HPDE sebagai dasar untuk penjemuran, kemudian memanfaatkan tenaga matahari untuk mengeringkan dan juga untuk menggerakkan solar pump alias pompa bertenaga surya demi mendistribusikan air laut ke kolam penjemuran.
“Kami merasa beruntung dengan cara ini, sebab produksi akan terus meningkat selain itu sangat menghemat waktu dan tenaga, tidak perlu harus cari kayu bakar lagi. Harapannya ke depan semoga dengan adanya produksi garam di Watumbaka bisa ada peningkatan kapasitas kami sebagai petani dan pelabelan untuk pemasarannya nanti,” harap Salma Andu, seorang perempuan petani garam di Watumbaka, Sumba Timur.
Deni menjelaskan, teknologi ini memang cocok diterapkan di Sumba. Karena secara iklim dan geografis posisi Pulau Sumba, utamanya kabupaten Sumba Timur sangat mendukung untuk usaha tambak garam dengan memanfaatkan energi matahari, sebab musim kemarau sangat panjang bila dibandingkan dengan musim hujan.
“Ini merupakan salah satu praktik-praktik cerdas yang didemontrasikan oleh BCC kepada masyarakat. Ada juga sebagai misal praktik perikanan berkelanjutan, diantaranya budidaya rumput laut, perlindungan dan rehabilitasi terumbu karang, hutan mangrove, ekowisata, dan yang lainnya,” pungkas Deni.
Laporan: Rahmat Adinata, Praktisi Pertanian Organik, Anggota Gerakan Petani Nusantara NTT
Foto-foto: Deni Karanggulimu.