Proyek Reklamasi Punggungi Nawa Cita

Maket proyek NCICD (dok. transformasi.org)
Maket proyek NCICD (dok. transformasi.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Daniel Mohammad Rosyid menilai, proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) perlu dikaji ulang. Pasalnya, proyek tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Integrated Coastal Zone Management (ICZM).

“Proyek ini memiliki eksternalitas yang besar, serta risikonya, kegagalan teknis, cost-overrun, tidak-tepat waktu belum dinilai secara memadai dan dipaparkan ke publik,” kata Daniel dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Sabtu (24/9).

Daniel memaparkan, proyek NCICD yang diprakarsai oleh Kementerian Koordinator Perekonomian-MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dan pemerintah Belanda pada tahun 2007 bertujuan melindungi Jakarta dari ancaman banjir dari laut akibat penurunan tanah yg parah di Jakarta. Nah, dalam proyek ini, yang menjadi komponen utama NCICD adalah pembangunan Giant Sea Wall (GSW) di lepas pantai Teluk Jakarta.

Seiring itu, ada pula proyek reklamasi alias Massive Landfilling into the Sea (MLiS) untuk membangun pulau-pulau buatan serta prasarana lainnya yang bertujuan menambah untuk commercial living space Jakarta bagi sekitar 2 juta penduduk. “Rancangan NCICD ini akan mengubah ekosistem pesisir dan laut yang kompleks di Teluk Jakarta dengan konsekuensi jangka-panjang multi-dimensi,” terang Daniel.

Pasalnya, pembangunan GSW sendiri jauh dari selesai. Sementara kegiatan reklamasi atau MLiS oleh swasta yang didorong oleh Pemda DKI yang sudah berlangsung beberapa waktu dan telah dihentikan oleh Kementrian KP dan Kementrian LHK. Penghentian dilakukan sampai dokumen-dokumen dan kaian yang diminta oleh UU terbaru diselesaikan.

Proyek reklamasi juga dihentikan sampai Keputusan Presiden Nomor 54/2008 yang mengatur penataan ruang Jabodetabekpunjur direvisi agar mencakup NCICD. Menurut Daniel, MLiS telah dilakukan tanpa memperhatikan regulasi mutakhir dan prinsip keterpaduan. Beberapa pihak yang berkepentingan tidak dilibatkan sejak awal definisi proyek ini.

“Untuk megaproyek senilai Rp400 triliun lebih yang melibatkan swasta ini keterpaduan itu mutlak diperlukan,” tegasnya.

Karena itu, kata Daniel, proyek NCICD yang mengandalkan rekayasa sipil GSW dan MLiS perlu dikaji ulang, dengan berbagai alasan tadi. Dia menilai, beban yang dipikul Jakarta dengan lingkungannya yang sudah rusak seharusnya dikurangi, tidak ditambah dengan megaproyek yang mengundang urbanisasi.

“Kawasan hulu Jabodebatekpunjur perlu direhabilitasi segera. Sistem airtanahnya perlu dipulihkan. Ruang Terbuka Hijau-nya perlu diperluas. Fungsi Jakarta juga perlu dikurangi,” papar Daniel.

Dia menjelaskan, secara teknis untuk NCICD perlu dipertimbangkan very large floating structure solutions yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan muka air laut dan tidak terlalu mengubah ekosistem dasar laut Teluk Jakarta. “Tension-Leg Sea Wall bisa mengganti sebagian ruas GSW. Very large moored pontoon bisa menggantikan MLiS untuk pulau-pulau buatan yang belum terbangun,” terang Daniel.

Kondisi Jakarta yang buruk saat ini disebabkan oleh obsesi pertumbuhan tinggi selama 40 tahun terakhir yang telah menyebabkan kesenjangan dan ketimpangan spasial yang makin lebar. Indeks Gini (indeks untuk mengukur kesenjangan-red) nasional saat ini 0.40 berada di ambang batas yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Ketimpangan itu terutama justru dalam distribusi penguasan lahan. Lahan hasil MLiS (reklamasi) yang cenderung mahal akan semakin memperburuk konsentrasi penguasaan lahan di tangan segelintir orang. Kue ekonomi nasional akan semakin memusat ke kawasan Jabodetabekpunjur. “Memposisikan pulau-pulau buatan ini sebagai pesaing Singapura adalah menyesatkan,” tegas Daniel.

Paradigma pulau besar dan obsesi pertumbuhan yang membingkai perencanaan pembangunan selama ini telah menelantarkan sektor maritim yang bagi Indonesia justru sangat instrumental bagi pemerataan pembangunan dan kedaulatan politik. Paradigma pulau besar melihat laut sebagai ruang yang tidak bernilai sehingga harus diurug agar bernilai. “Visi Poros Maritim Dunia mengandaikan pembangunan yang direncanakan sebagai sintesis lingkungan,” ujar Daniel.

NCICD-MP3EI dengan demikian tidak selaras dengan Nawa Cita yang membutuhkan kebijakan afirmatif “Melihat Ke Timur”, mengutamakan pemerataan, membangun dari pinggir, penguatan kemaritiman dan rehabilitasi serta konservasi lingkungan. “Indonesia masih memiliki banyak pulau-pulau alam yang perlu dibangun demi keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Daniel.

Dia menegaskan, pesisir dan laut adalah barang publik. Yang berwenang melakukan pembangunan GSW adalah pemerintah sehingga tekanan untuk menswastakan pulau-pulau buatan yang sudah terbangun bisa dihindari. “Lahan pulau-pulau buatan ini harus diserahkan ke pemerintah untuk dimanfaatkan bagi kepentingan publik. Pusat Pemerintahan bisa ditempatkan di sana,” pungkas Daniel.

Ikuti informasi terkait reklamasi >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.