PT SPS II Dinilai Gagal Hentikan Kebakaran Lahan Gambut Tripa
|
Jakarta, Villagerspost.com – Para aktivis lingkungan Aceh menilai PT Surya Panen Subur (SPS) II gagal menghentikan kebakaran dan penghancuran lahan gambut di Tripa yang merupakan jantung Kawasan Ekosistem Leuser. Hal itu terungkap dalam diskusi publik mengenai perbaikan tata kelola rawa gambut Tripa di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Rabu (16/8).
Pakar Gambut Aceh Monalisa dalam kesempatan itu mengatakan, saat ini, pembukaan lahan gambut Tripa yang sangat penting bagi Ekosistem Leuser terus terjadi di dalam konsesi kelapa sawit PT SPS II. Menjelang 9 Juni 2017, kanal gambut baru dibangun dan kebakaran ilegal terjadi untuk membuka lahan, total seluas 24 hektare hutan hilang di dalam konsesi.
“Padahal kawasan tersebut sangat penting bagi habitat orangutan Sumatera yang terancam punah dan berperan sebagai penyerap karbon global,” ujar Monalisa, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (16/8).
Kerusakan lahan gambut terus berlanjut meski moratorium pemerintah mengenai pembukaan hutan untuk pengembangan kelapa sawit telah dikeluarkan untuk melindungi lahan gambut Indonesia. Kini total 174 hektare lahan telah dibuka oleh PT SPS II sejak surat edaran pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit di Aceh dikeluarkan pada bulan Juni 2016.
Lebih dari 4.000 hektare hutan yang oleh para konservasionis masih dianggap sebagai habitat penting yang layak dilindungi berada dalam konsesi PT SPS II. Namun selama tiga tahun terakhir, perusahaan tersebut belum mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pembukaan perkebunan kelapa sawit ilegal di dalam batas konsesinya.
PT SPS II diharapkan bisa segera menangani konflik lahan gambut bersama dengan masyarakat dan pemerintah provinsi sehingga mereka dapat membangun kemitraan untuk memastikan pengembangan mata pencaharian alternatif selain sawit dan perlindungan jangka panjang Tripa.
“Secara perhitungan ekonomis masyarakat menyadari, hutan lebih banyak membawa keuntungan dibandingkan dengan mengelola kebun kelapa sawit, kondisi hutan gambut yang telah berubah menjadi sawit mulai membuat penghasilan masyarakat yang tergantung pada hasil hutan menurun. Kondisi tersebut menimbulkan pro dan kontra terhadap keberadaan perusahaan dikarenakan masyarakat telah kehilangan mata pencaharian dari hutan yang masuk kedalam areal HGU perusahaan,” ungkap Monalisa.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Aceh Muhammad M. Nur pada kesempatan yang sama menambahkan, upaya konservasi Tripa harus melibatkan berbagai komponen, mulai dari pemerintah, perusahaan kelapa sawit yang beroperasi dan masyarakat lokal untuk memastikan agar dapat diimplementasikan dan dipatuhi oleh semua pihak terkait.
“Selain itu pemberian atau perpanjangan HGU kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit juga harus mempertimbangkan hak-hak adat dan mengedepankan nilai teritorial daerah yang berdekatan dengan pemukiman dan perkampungan untuk membangun pola interaksi yang positif antara perusahaan dan masyarakat,” ujarnya.
Komitmen dari pemerintah dan perusahaan sangat dibutuhkan untuk menjamin hak atas tanah bagi masyarakat desa Kuala Seumayam dan desa Pulo Kruet yang tinggal di dalam kawasan HGU PT SPS II. Semua pihak harus bisa menemukan solusi berkelanjutan atas aktifitas penghancuran hutan, kebakaran ilegal, pendirian perkebunan dan kanal yang menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap tanah, perikanan dan sumber pendapatan lainnya.
PT SPS II pada bulan Juni 2012 pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negri Meulaboh karena melakukan pembakaran untuk membersihkan lahan di kawasan gambut Tripa. Namun, pada 2016 Mahkamah Agung RI memutuskan bahwa perusahaan tersebut tidak bersalah. PT SPS II adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit ketiga yang memiliki konsesi di Tripa yang telah digugat oleh pemerintah karena membakar lahan. (*)