Putusan Gugatan atas Qanun “Pengancam” Kawasan Ekosistem Leuser Ditunda
|
Jakarta, Villagerspost.com – Warga Aceh yang diwakili Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) kecewa dengan keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menunda keputusan perkara gugatan atas Qanun Nomor 19 tahun 2013 hingga tiga minggu kedepan. Qanun tersebut digugat karena telah “mengancam” kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dengan tidak dimasukkannya KEL sebagai kawasan strategis nasional dalam Qanun tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033 itu.
Sembilan pemuka adat Aceh mendaftarkan perkara ini di PN Jakarta Pusat pada tanggal 21 Januari 2016 (No. 33/Pdt.G/2016/PN.JKT.PST). Para penggugat hadir pada sidang yang berlangsung Selasa (8/11) untuk mendengarkan putusan majelis hakim dalam perkara gugatan warga negara (Citizen Lawsuit) pertama yang berasal dari Aceh ini.
Namun, majelis hakim mengumumkan, perkara tersebut tidak bisa diputuskan hari ini, seperti yang telah direncanakan. Perwakilan dari Menteri Dalam Negeri hadir pada sidang hari ini, akan tetapi tidak terlihat perwakilan dari Gubernur Aceh dan DPRA.
“Kami sedang mengerjakan tugas lain dari Mahkamah Agung. Sehingga rekan kami yang lain juga masih mengikuti tugas dari Mahkamah Agung,” tegas Ketua Majelis Hakim Agustinus Setyo Wahyu, di hadapan sidang, PN Jakarta Pusat.
Aman Jarum, pemuka adat dari Gayo Lues dan salah seorang penggugat menyatakan kekecewannya. “Kami harus kembali ke Aceh dengan berat hati karena kami telah berjuang selama beberapa tahun ini untuk melawan RTRWA tersebut. Tetapi, kami akan kembali lagi ke Jakarta untuk keputusan gugatan pada tanggal 29 November 2016. Kami memohon kepada para hakim agar bijaksana dalam membuat keputusan dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat Aceh yang bergantung pada KEL,” ujarnya.
Dalam proses pengadilan yang telah berlangsung, saksi fakta maupun saksi ahli GeRAM memberikan argumen yang kuat mengenai alasan mengapa RTRWA bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. KEL adalah kawasan lindung yang memiliki, sedikitnya, tiga payung hukum, yaitu: Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, Undang-Undang No. 26/2007 tentang Rancangan Tata Ruang, dan Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang Rancangan Tata Ruang Nasional.
Di tahun 2016, kebijakan perlindungan KEL telah mendapat momentum yang positif dari pemerintah. Pada April 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mendeklarasikan moratorium ekspansi kelapa sawit dan usaha tambang di dalam KEL. Pada hari Kamis lalu (3/11) Siti Nurbaya mengatakan bahwa beliau memutuskan untuk memasukkan garis batas KEL kedalam peta kawasan hutan Aceh, yang berarti KEL akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari RTRWA.
Farwiza, salah seorang penggugat, mengatakan, pihaknya memuji upaya Menteri LHK Siti Nurbaya untuk memastikan KEL menjadi bagian yang tak terpisahkan dari RTRWA. “Kami berharap hasil keputusan perkara gugatan kami sesuai dengan upaya Bu Menteri agar revisi RTRWA dapat segera disusun sehingga menegakkan hukum nasional yang melindungi KEL,” kata Farwiza.
GeRAM menyampaikan petisi mereka kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 3 November lalu yang diterima oleh Yanuar Nugroho, Deputi Staf Kantor Staf Presiden, yang berencana untuk berkoordinasi dengan institusi terkait mengenai perlindungan KEL. “Kami berharap niat-niat tersebut dapat menjadi perubahan kebijakan yang nyata di lapangan, dan pemerintah pusat serta pemerintah Aceh dapat bekerjasama untuk melindungi KEL,” tambah Wiza.
Sebanyak 75,000 orang telah menandatangani petisi GeRAM (change.org/LindungiLeuser) untuk menunjukkan solidaritas mereka dalam perlindungan KEL. “Kami mengucapkan terima kasih kepada pendukung kami yang telah membantu untuk mengangkat perkara ini menjadi perhatian Indonesia dan seluruh dunia,” lanjut Wiza.
Ikuti informasi terkait kawasan ekosistem leuser >> di sini <<