Rebutan CPO Pangan Vs Energi, Biang Keladi Kelangkaan Minyak Goreng
|
Jakarta, Villagerspost.com – Harga minyak goreng kembali meroket. Tahun lalu harga minyak goreng melangit karena dipermainkan sejumlah oknum pengambil untung. Stok komoditas pangan itu juga sempat langka dan memicu antrean panjang.
Awal tahun ini, giliran “Minyak Kita”, ‘senjata’ yang diluncurkan pemerintah sebagai penstabil harga minyak goreng di dalam negeri– mengalami kelangkaan dan harganya melambung di atas harga eceran tertinggi (HET). Hal tersebut pun memicu kenaikan harga berbagai merek minyak goreng lainnya di pasaran. Kondisi ini tentu merupakan sebuah ironi, mengingat Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa kelangkaan minyak goreng bersubsidi berulang kali terjadi? Benarkah salah satu sebabnya karena pasokan CPO–yang merupakan bahan baku minyak goreng– tersedot untuk program biodiesel yang implementasinya ditingkatkan menjadi B35 per 1 Februari ini?
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Edi Wibowo menampik, pasokan CPO untuk program biodiesel mengganggu kebutuhan untuk industri pangan sehingga memicu kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng subsidi. Ia merujuk data GAPKI yang menunjukkan bahwa total konsumsi CPO dalam negeri pada 2022 tercatat sebanyak 20,968 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 9,941 juta ton digunakan untuk kebutuhan pangan, sejumlah 2,185 juta ton untuk oleokimia dan 8,842 juta ton untuk biodiesel.
“Jadi sejauh ini masih lebih besar penggunaan CPO untuk pangan daripada biodiesel. Kami terus menjaga kestabilan harga dan ketersediaan CPO untuk industri lain, terutama pangan, meskipun ada program mandatori biodiesel ini,” kata Edi, dalam diskusi daring bertajuk ‘Problematika Minyak Goreng: CPO Bagi Pangan vs Energi, yang digelar Sabtu (4/2).
Kegiatan yang dilaksanakan secara virtual melalui Zoom dan Youtube ini merupakan kerjasama antara Satya Bumi dan Sawit Watch serta didukung oleh CSO lainnya seperti Greenpeace Indonesia, Perkumpulan HuMa, WALHI Nasional, ELSAM, dan PILNET Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Edi memastikan, proyeksi produksi CPO untuk periode 2023-2026 dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. “Target produksi CPO akan kita tingkatkan dengan program replanting sehingga harganya bisa terjaga dengan baik. Pemerintah di lintas kementerian juga akan menyiapkan portofolio alokasi maksimum CPO untuk menjaga keseimbangan berbagai keperluan konsumsi,” ujar Edi.
Terkait isu ini, Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan, produksi CPO Indonesia memang memadai untuk memenuhi semua kebutuhan konsumsi dalam negeri, baik untuk pangan maupun energi. Namun, yang harus ditilik adalah aliran distribusinya. Jika kondisi menghadapkan pilihan antara pangan (minyak goreng) dan energi (biodiesel), ujar dia, maka stok akan selalu condong bergerak untuk kebutuhan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi–dalam hal ini adalah biodiesel.
“Kalau CPO dijual untuk biodiesel, harganya lebih tinggi dibandingkan harga CPO untuk kebutuhan pangan (minyak goreng). Jadi akar permasalahan dari kondisi ini adalah pemerintah secara sembrono menetapkan ‘dua harga’ CPO. Inilah biang keladinya. Akar permasalahan itu kebijakan pemerintah sendiri, di dunia manapun tidak ada kebijakan yang ugal-ugalan seperti ini,” papar Faisal.
Dengan kondisi ini, ujar Faisal, para pengusaha akan selalu lebih tertarik untuk memasok CPO untuk biodiesel ketimbang industri lainnya. Terlebih, ada insentif yang diberikan pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sehingga ke depan, ujar Faisal, pasokan CPO ditengarai akan lebih banyak bergeser untuk kebutuhan biodiesel dan mengalahkan kebutuhan industri pangan.
“Saya melihat jelas adanya kompetisi antara perut dengan energi, itu tidak bisa disangkal. CPO untuk energi dimenangkan karena dijamin tidak rugi, kalau minyak goreng kan bisa saja rugi,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menambahkan, belum adanya pengaturan yang jelas antara CPO untuk kebutuhan pangan dan energi semakin meniscayakan adanya kompetisi antara keduanya. “Sampai saat ini belum ada aturan perizinan HGU untuk biofuel, semuanya kan masih tanaman pangan. Kalau begini, maka kita akan selalu terjebak pada dua pilihan, CPO untuk pangan atau disetor untuk biofuel. Hal ini yang membuat kondisi kita semakin rentan ke depan,” ujar dia.
Sehingga, ujar Rambo, kebijakan yang mengatur pola konsumsi CPO diperlukan untuk membenahi tata kelola industri minyak goreng. Tak hanya itu dalam kerangka yang lebih besar, pengaturan kebijakan dari industri sawit dari hulu hingga hilir perlu juga pembenahan serta tersinkronisasi dalam implementasinya.
Andi Muttaqien, Deputi Direktur Satya Bumi mengatakan, ancaman paling nyata yang akan muncul akibat program biodiesel adalah ekspansi lahan untuk memenuhi kebutuhan energi baru tersebut. Pengembangan biodiesel punya risiko yang justru kontradiktif dengan upaya penurunan emisi dan berdampak buruk pada lingkungan. Sebanyak 80-90 persen emisi dihasilkan pada tahap perkebunan dari alih fungsi lahan, apalagi jika dibuka di lahan gambut.
Andi mengingatkan pemerintah bahwa transisi energi bukan hanya sekedar substitusi energi, namun juga harus memperhatikan aspek keberlanjutannya. “Untuk itu, menjamin penerapan prinsip sustainability dari hulu hingga hilir ini menjadi kunci penting,” ujar dia.
Senada, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menambahkan, sejumlah hasil studi menunjukkan, program Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia berkorelasi dengan deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dan memperburuk perubahan iklim yang telah terjadi.
Studi mencerminkan peningkatan permintaan biodiesel berbasis CPO diikuti dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit, dimana dalam kurun waktu 2014 hingga 2020, terjadi peningkatan 4,25 juta hektare lahan sawit. “Dan laju peningkatan terbesar terjadi setelah 2016, tepat setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif atau subsidi untuk sawit lewat BPDPKS,” tuturnya.
Mengingat berbagai risiko yang dihadapi jika hanya mengandalkan biodiesel berbasis komoditas sawit, ujar Fabby, maka perlu pengembangan diversifikasi bahan baku selain CPO. “Negara kita ini sangat kaya, namun kita masih minim dalam mengeksplorasi pemanfaatan potensi bahan baku, nah mungkin dana BPDPKS bisa dialihkan untuk riset mencari potensi lain itu,” ujar dia.
Di samping dampak lingkungan, Fabby juga menilai ada risiko dampak ekonomi dan sosial seperti konflik tenurial yang berpotensi muncul dari pengembangan biodiesel berbasis sawit. Untuk itu, ujar dia, penetapan standar keberlanjutan menjadi penting. “Parameter yang dilihat bukan hanya dampak lingkungan, tapi aspek ekonomi-sosial juga harus dimasukkan dalam standar berkelanjutan,” tuturnya.
Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Edi Wibowo menyambut berbagai catatan kritis dari sejumlah pimpinan organisasi masyarakat sipil sebagai bahan kajian pemerintah untuk perbaikan. Ia menyebut, pemerintah memang sedang mengembangkan bahan baku BBN selain CPO, namun sampai saat ini sawit masih dijadikan andalan karena produktivitasnya yang tinggi dan membutuhkan lahan yang lebih sedikit dibandingkan bahan baku lainnya.
Untuk menjamin BBN yang berkelanjutan, ujar dia, pemerintah akan merevisi ISPO untuk memastikan ketertelusuran dari hulu hingga hilir. Ditjen EBTKE Kementerian ESDM juga sedang mematangkan rumusan Indonesian Bioenergy Sustainability Indicators (IBSI) untuk memastikan penggunaan bioenergi termasuk biodiesel secara berkelanjutan.
Editor: M. Agung Riyadi