Rekaman Jambore Perlindungan Tanaman Indonesia 2017
|
Bogor, Villagerspost.com – Selama empat hari sejak Kamis (9/11) hingga Minggu (12/11), Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (Himasita) IPB menggelar Jambore Perlindungan Tanaman Indonesia (JPTI) 2017. Kegiatan ini sendiri merupakan agenda tahunan yang digelar Himasita IPB. Untuk tahun ini acara JPTI mengambil tema: “Pertanian Berwawasan Lingkungan”.
Acara ini diikuti oleh para mahasiswa dari sembilan universitas yaitu UGM, Unpad, Unhas, Unla, USU, Unand, UB, Unja, Unsri, Unej dan Unsika. Perwakilan mahasiswa yang hadir dalam acara tersebut berjumlah 58 orang. Hadir pula perwakilan dari petani yang berjumlah 15 orang.

Rangkaian acara JPTI 2017 dibuka dengan city tour dengan mengunjungi kebun raya bogor dan ditutup dengan acara welcome dinner antar seluruh delegasi mahasiswa. Hari kedua dilaksanakan kegiatan kompetisi debat, dan presentasi skripsi. Pada hari kedua juga dilaksanakan kegiatan focus group discussion mengenai permasalahan hama dan penyakit tanaman di lapangan antara petani, mahasiswa dan dosen yang pada akhir acara disampaikan sebuah gagasan yang berasal dari hasil diskusi dan bertukar pikiran antara pihak-pihak yang berdiskusi.
Hari ketiga dilaksanakan seminar nasional agroekologi dengan pembicara Guru Besar Penyakit Tanaman IPB Prof. Dr. Damayanti Buchori. Dalam kesempatan itu, Prof. Damayanti membahas tentang dimensi agroekologi secara pengetahuan, ilmu, maupun ilmu pengetahuan. “Agroekologi merupakan bertani dengan penuh kearifan. Sudah saatnya pembangunan pertanian bergeser kepada kearifan lokal yang tentu saja berbeda di tiap tempat,” pesan Damayanti, dalam paparannya.
Dia juga mengungkapkan, saat ini mulai tumbuh kembali kesadaran bahwa bertani bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial-budaya dan juga masalah lingkungan. “Ada yang hilang jika sekadar menganggap pertanian hanya sekadar masalah uang,” katanya.

Dari siklus pertanian di Indonesia, manusia belajar dari berbagai kesalahan yang telah dilakukan selama ini. Pada masa pra revolusi hijau, kata Damayanti, pertanian masih berjalan selaras dengan alam dengan produsen pangan utama adalah petani skala kecil. Namun kemudian, datang revolusi hijau sebagai “jawaban” untuk meningkatkan kebutuhan pangan dimana pertanian diusahakan lewat teknologi pertanian dan penggunaan input kimia seperti pupuk, pestisida, herbisida kimia.
Era ini berakhir dengan ironis dimana produksi pangan justru melorot karena penggunaan input kimia justru merusak tanah dan menimbulkan problem ledakan hama. Dari masalah itu kemudian lahirlah era PHT atau pengendalian hama terpadu dimana prinsip pertanian selaras alam dengan menggunakan bahan-bahan organik kembali ditegakkan. “Tuntutan pasar dunia pun kemudian semakin mendorong munculnya pertanian selaras alam yang mendorong pada lahirnya era agroekologi,” paparnya.

Dalam sesi agroekologi ini juga tampil pembicara dari kalangan petani yaitu Mashadi, aktivis mangrove dan peraih penghargaan kalpataru. Dalam kesmepatan itu, Mashadi berbicara tentang praktik agroekologi yang dilakukan di daerah pesisir.
Rangkaian acara JPTI 2017 juga diisi dengan penampilan Sih Agung Prasetya dan Sujono, seniman dari Komunitas Lima Gunung. Para seniman ini menampilkan tarian dan pergelaran wayang yang mengajak pemirsanya mengenal jenis-jenis serangga yang sebenarnya jika tidak diganggu akan saling menjaga keseimbangan alam sehingga menghindari terjadinya ledakan hama.
Mereka juga memberikan pesan, seharusnya semua pihak peduli akan pertanian berwawasan lingkungan. “Semua profesi bisa menyuarakan pertanian lingkungan sesuai dengan porsi dan posisinya masing masing,” kata Sujono. (*)
Laporan/Foto: W.R Nanta, Ketua Himasita IPB, Jurnalis Warga untuk Villagerspost.com