Rp11,4 Triliun Melayang Akibat Pencemaran Cikijing

Sungai di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat tercemar limbah industri (dok. greenpeace)
Sungai di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat tercemar limbah industri (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Berapa besar kerugian ekonomi yang bisa ditimbulkan oleh satu kasus pencemaran? Jawabannya ternyata sangat luar biasa, yaitu mencapai Rp11,4 triliun. Angka kerugian itu baru dari satu kasus yaitu pencemaran Sungai Cikijing oleh industri tekstil di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Angka kerugian sebesar 10 kali anggaran pembangunan stadion sepakbola Gelora Bandung Lautan Api itu terungkap dari hasil kajian yang dilakukan Koalisi Melawan Limbah. Koalisi yang terdiri dari Pawapelling, LBH Bandung, Walhi Jabar dan Greenpeace itu, hari ini, Senin (4/4) meluncurkan sebuah laporan yang menghitung kerugian ekonomi akibat pencemaran limbah berbahaya beracun industri, di Kawasan tersebut.

Laporan berjudul “Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Industri” ini merupakan hasil penelitian yang bekerjasama dengan tim peneliti dari Institute Of Ecology Universitas Padjadjaran. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kerusakan lingkungan dan dampak yang diderita masyarakat serta menghitung total kerugian ekonomi akibat pencemaran berpuluh tahun di kawasan Rancaekek dengan fokus sekitar aliran sungai Cikijing, anak Sungai Citarum.

(Baca juga: Koalisi Melawan Limbah Tuntut IPLC Tiga Pabrik Pencemar Cikijing Dicabut)

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan mengatakan, pencemaran limbah industri di RancaekekĀ  merupakan kejahatan lingkungan hidup yang merugikan keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat di DAS Citarum.

“Pemerintah dan perusahaan tidak bisa lagi abai, pemerintah harus tegakkan hukum lingkungan seadil-adilnya, perusahaan pun harus dipastikan bertanggung jawab,” kata Dadan dlaam siaran pers yang diterima Villagerspost.com.

Jika kasus seperti di Rancaekek terus dibiarkan oleh pemerintah, maka kondisi lingkungan hidup di DAS Citarum akan semakin rusak, daya dukung layanan akan semakin menurun dan kerugian ekonomi pun akan semakin besar. “Ke depan, selain penegakan hukum dijalankan, pemerintah dan pemerintah daerah penting untuk menyusun dan menjalankan regulasi-regulasi yang antisipatif bagi industri yang menghasilkan limbah baik cair, padat dan polusi udara,” tegas Dadan.

Total kerugian ekonomi akibat pencemaran DAS Cikijing memang sangat dahsyat. Angka Rp11,4 triliun itu muncul dengan menggunakan pendekatan Total Economic Valuation (tanpa mengikutsertakan biaya abai baku mutu).

Kerugian ekonomi yang dihitung adalah kerugian masyarakat pada periode 2004-2015 dari multisektor meliputi sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehatan, kerugian karena kehilangan jasa air, penurunan kualitas udara, dan kehilangan pendapatan yang mencapai lebih dari 3,3 triliun. Selain itu estimasi biaya remediasi 933,8 hektare lahan tercemar mencapai setidaknya lebih dari Rp8 triliun.

Ketua Pawapelling Adi M.Yadi mengatakan, pihaknya tahun ini telah menggugat Bupati Sumedang dan tiga perusahaan Besar pencemar DAS Cikijing di PTUN Bandung. “Penguasa dan Pengusaha tersebut kami gugat karena Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) yang dikeluarkannya mengakibatkan pencemaran dan kerusakan masif pada sungai dan ratusan hektar area pertanian selama berpuluh tahun yang mencapai kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah di empat Desa di Kecamatan Rancaekek,” ujarnya.

Yadi mengatakan, IPLC diterbitkan tanpa verifikasi komprehensif dampak pembuangan limbah terhadap daya tampung dan daya dukung beban pencemaran di Sungai Cikijing. Selain itu juga tidak ada pengawasan serta evaluasi terhadap IPLC yang telah diterbitkan tersebut.

“Maka kami memandang, mereka telah lalai dan abai terhadap norma prinsip perizinan dan kewajibannya untuk menjaga dan melindungi lingkungan hidup. Untuk itu kami mendesak Pemerintah Kabupaten Sumedang melalui PTUN Bandung untuk membatalkan dan mencabut IPLC ketiga perusahaan pencemar di wilayah Kabupaten Sumedang,” tegasnya.

Sementara itu Dhanur Santiko dari LBH Bandung menjelaskan, pihaknya menempuh gugatan untuk pembatalan dan pencabutan IPLC di PTUN, karena hal tersebut sangat efektif untuk mencegah pencemaran di sungai. Selain itu, Koalisi Melawan Limbah juga akan menggugat terbitnya IPLC lainnya, jika ada indikasi pencemaran sungai.

“Selain itu penting kiranya adanya perubahan mengenai peraturan yang mengatur tentang pengendalian kualitas air, tentang paramater B3 dan sistem informasi publik mengenai dokumen lingkungan, agar masyarakat tahu dan sadar akan haknya apabila ada suatu kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungannya, sehingga kerugian kerugian yang akan diderita oleh masyarakat akan terhindar,” urai Dhanur.

Juru kampanye Detox Greenpeace Ahmad Ashov Birry mengatakan, di tengah derasnya arus investasi industri manufaktur yang intensif menggunakan bahan kimia, Pemerintah Indonesia harusnya sudah sejak lama mengambil pelajaran dari kasus puluhan tahun pencemaran di Rancaekek. dari situ, pemerintah segera melakukan penguatan regulasi manajemen bahan kimia berbahaya beracunnya.

“Transparansi data-data pembuangan B3 industri juga harus segera diwujudkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar lagi bagi lingkungan, ekonomi, sosial dan kesehatan masyarakat di masa mendatang,” jelasnya.

Kasus Rancaekek dapat menjadi potret pembuangan bahan kimia berbahaya beracun yang masif dan tertutup ke sungai-sungai dan lingkungan Indonesia dan betapa mudahnya industri untuk mencemari dan lari dari tanggungjawabnya. Koalisi Melawan Limbah mendesak Pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum dan memastikan industri pencemar bertanggungjawab penuh melakukan ganti rugi dan pemulihan lingkungan hidup.

“Pemerintah harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakatnya dibanding kepentingan industri pencemar,” pungkas Ashov. (*)

Ikuti informasi terkait pencemaran sungai >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.