Saatnya Petani Menjadi Pemain Utama di Sektor Perkebunan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Konferensi perkebunan rakyat yang diprakarsai oleh SPKS, SPI, API, Sawit Watch, FIELD, Bina Desa dan IHCS, hari ini, Rabu (26/4) resmi dibuka oleh Deputy bidang Perkebunan Kementerian Koordinator Ekonomi Indonesia Musdalifah. Konferensi perkebunan rakyat ini merupakan konferensi perkebunan rakyat pertama yang dibuat pada tingkat nasional.
Adapun konferensi ini memiliki tujuan untuk memperkuat perkebunan rakyat menuju perkebunan yang lestari dan berkeadilan sosial. Konferensi ini berlangsung tidak terlepas dari adanya persoalan-persoalan serius yang terjadi pada sektor perkebunan di Indonesia. Adapun peserta yang hadir dalam konferensi ini merupakan petani dari berbagai sektor seperti kelapa sawit, kopi, rempah-rempah dan coklat yang berasal dari seluruh Indonesia.
Ketua panitia Konferensi Mansuetus Alsy Hanu menyampaikan dalam sambutannya menyampaikan, konferensi ini bukan untuk menyaingi konferensi-konferensi serupa yang biasa dibuat oleh pemerintah atau kelompok pengusaha. “Konferensi ini berangkat dari realitas yang terjadi saat ini pada sektor ini. Beberapa hal yang menjadi acuan adalah pertama, produksi perkebunan saat ini menurun drastis,” ujar Hanu.
Di sektor sawit, seharusnya bisa mencapai 36 juta ton per hektare tetapi sampai saat ini baru 30 juta ton/ha. “Kita kalah dari Malaysia,” lanjut Hanu. Kedua, di wilayah pedesaan, masyarakat semakin berkurang yang gemar untuk menjadi petani atau berkebun. “Ini sangat meresahkan bagi kita semua,” tambahnya.
Persoalan lain adalah akses modal. Petani masih sulit mendapatkan peminjaman dari bank, bank-bank yang ada saat ini masih konfensional. “Kalau mau mendapatkan pinjaman harus ada jaminan. Dan jaminan itu tentunya harus dengan surat-surat yang lengkap,” terangnya.
Ketiga soal akses atas tanah. Petani saat ini sangat susah untuk mendapatkan tanah yang layak untuk berkebun karena tanah-tanah di pedesaan sudah banyak dikuasai oleh pengusaha-pengusaha besar. Keempat, perkebunan yang lestari dan berkeadilan sosial. “Kita masih sulit mendapat perkebunan yang lestari dan berkeadilan sosial karena memang banyak persoalan yang terjadi dan ini tidak diselesaikan oleh pemerintah atau pengusaha,” tegas Hanu.
Dalam kesempatan yang sama, ketua Stering Committee Henry Saragih menyampaikan, hari ini merupakan hari yang bersejarah. “Ini merupakan konferensi perkebunan rakyat pertama. Konferensi ini sangat penting, bukan saja karena hari ini isu-isu perkebunan menjadi pemberitaan internasional, tetapi ini juga menyangkut hal yang bersejarah bagi negeri ini,” ucapnya.
Lebih lanjut, Henry menyampaikan, kehadiran penjajah di negeri ini ditandai dengan perkebunan. “Sama-sama kita ketahui, perkebunan yang membuat perbudakan di negeri ini, yang membuat orang sengsara. Karena itu, konferensi ini harus bisa mengurai persoalan itu.” tegas Henry. Persoalan ekonomi masih menjadi persoalan serius di negeri ini, kesenjangan ekonomi masih tinggi. Kesenjangan dalam pemilikan tanah, ada yang menguasai jutaan ha, sedangkan masyarakat hanya 0,3-0,5 ha.
“Indonesia benar menjadi negara eksportir untuk hasil perkebunan, ini bukan hal luar biasa karena sejak jaman kolonial itu sudah terjadi. Persoalannya adalah dengan menjadi negara eksportir kehidupan rakyat kita bahagia atau tidak,” tegasnya.
Dengan konferensi ini diharapkan perkebunan, menempatkan petani sebagai pelaku utama dalam sektor ini. “Petani tidak lagi menjadi buruh ditanahnya sendiri, tanaman perkebunan diprioritaskan untuk kebutuhan pangan keluarga petani dan nasional, perkebunan dengan cara-cara yang ekologis, perkebunan haruslah dikelola petani dan usaha bersama, menjunjung tinggi hak perempuan dan anak merupakan beberapa hal penting yang akan kita bahas dalam konferensi ini dan menjadi rujukan bagi pemerintah,” pungkas Henry.
Sedangkan Musdalifah yang berbicara selaku keynote speaker menyampaikan rasa terimakasih kepada para penyelenggara yang sudah menyelenggarakan konferensi perkebunan rakyat ini. Musdalifah menyampaikan, perkebunan itu sangat penting karena banyak memberikan kontribusi bagi negara.
“Kenapa disebut sector perkebunan karena didaerah yang jauh dari perkotaan, yang bisa membangun adalah sector perkebunan. Perkebunan yang membangun anak-anak kita, dan sebagian besar bisa menyekolahkan anak-anaknya kejenjang yang lebih tinggi. Usaha pertanian dan perkebunan harus dikembangkan untuk ekonomi keluarga dan negara karena menjadi sumber pendapatan, dan perlu membangun pusat-pusat perkebunan di daerah,” jelas Musdalifah.
Terkait dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), Musdalifah mengatakan, pemerintah sedang memperbaikinya. “Kita ssedang mengkampanyekan ISPO untuk hasil lebih baik di pasar dunia. Khusus untuk petani mandiri atau petani rakyat, kami sedang menyiapkan replanting tapi belum dilaksanakan karena kami sedang menjaga betul terkait dengan proses transparansi sehingga dapat sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Harapannya dalam konferensi ini juga dapat mengembangkan kerangka perkebunan yang lestari seperti ISPO,” lanjut Musdalifah.
“Semoga konferensi ini bisa membangun semangat untuk kembali kedaerah masing-masing dan mengelola perkebunan yang terbaik,” pungkasnya.
Seperti diketahui, konferensi ini akan berlangsung selam dua hari, dimana pada hari pertama, akan membicarakan isu-isu besar yang menjadi persoalan-persoalan mendasar dalam sektor perkebunan di Indonesia. Sedangkan dihari kedua, akan menyusun satu resolusi yang pada intinya agar menempatkan petani sebagai pemain utama dalam sektor perkbunan bukan lagi pemain cadangan atau hanya pemanis dalam sektor ini.