Sawit Watch Gugat Pengampunan Sawit di Kawasan Hutan ke MA

Jajaran perkebunan sawit di kawasan hutan (dok. sawit watch)

Bogor, Villagerspost.com – Langkah pemerintah melakukan pemutihan/pengampuan perkebunan sawit yang ditanam illegal di kawasan hutan menuai kritik banyak pihak. Salah satu sasaran utama kritik tersebut adalah landasan pengampunan tersebut yaitu Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang mengubah UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) dengan menyisipkan Pasal 110 A dan 110 B.

Kemudian berdasarkan beleid tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan (PP No 24/2021). Terbitnye beleid ini dinilai bertentangan dengan upaya penegakan hukum terkait pelaku penanaman sawit ilegal di kawasan hutan, sebaliknya menguntungkan pihak korporasi sawit.

“Langkah ini mengabaikan proses penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi administratif dan dapat menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit,” kata Direktur Sawit Watch Achmad Surambo, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com.

Karena itu, Sawit Watch mendaftarkan gugatan terhadap PP No. 24 tahun 2021 ini kepada Mahkamah Agung, beberapa waktu lalu. “Kami memandang kebijakan ini akan menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan pelanggaran serupa di masa depan,” tegas Rambo.

Dia mengatakan, perusahaan bisa saja melakukan penyerobotan lahan dalam kawasan hutan, karena ada semacam jaminan (akan diputihkan lagi). “Harusnya, jika Pemerintah benar-benar serius menyelesaikan keterlanjuran sawit di kawasan hutan dengan memprioritaskan penyelesaian desa-desa yang berada di kawasan hutan,” tegas Rambo.

Diketahui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat ada sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang terdiri dari 9,2 juta rumah tangga. “Inilah yang harusnya menjadi fokus penyelesaian pemerintah,” kata Rambo.

Sawit Watch mencatat hingga 2023 jumlah komunitas yang berkonflik di perkebunan sawit sebanyak 1088 kasus dengan mayoritas konflik tenurial (62,5%) yang dapat saja terjadi di kawasan hutan.

Rambo menambahkan, gugatan yang dilayangkan kepada Mahkamah Agung adalah sebagai upaya dalam memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan juga menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan.

“Proses pidana diabaikan dan diganti dengan memberikan sanksi berupa denda administratif justru sangat merugikan. Kami juga mendorong agar pemerintah memprioritaskan penyelesaian desa-desa dalam kawasan hutan untuk diselesaikan,” tambah Rambo.

Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law Janses E. Sihaloho menegaskan, PP ini merusak jaminan kepastian hukum dan jaminan perlindungan bagi masyarakat di sekitar hutan.

“Untuk itu kami menggugat Pasal 3 PP karena menimbulkan ketidakpastian hukum karena terjadi pertentangan antara UUCK, UU Penetapan Perpu CK Menjadi UU, dan PP. PP telah mengatur apa yang tidak diperintah UU CK dan UU Penetapan Perpu CK dan mengatur apa yang telah dikecualikan oleh UU P3H,” kata Janses.

Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) Gunawan menjelaskan, ketidakpastian hukum dapat tercermin dengan melihat perbedaan antara pengaturan melalui kebijakan Undang-undang (UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU) dan aturan pelaksana (PP No 24 Tahun 2021).

Dari sisi subjek hukum misalnya, UU Cipta Kerja dan UU Penetapan Perppu Cipta Kerja adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di kawasan hutan. Namun, subyek hukum PP No 24/2021 adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di kawasan hutan dan memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan.

“Sehingga ketidakpastian hukum muncul ketika subyek hukum yang diatur di level undang-undang adalah yang memiliki perizinan usaha kehutanan, sedangkan pada aturan pelaksananya justru mengatur subyek hukum yang tidak memiliki perizinan usaha kehutanan,” jelas Gunawan.

Hal lain, kata Gunawan, dapat dilihat dari sisi jangka waktu. Merujuk PP No. 24 Tahun 2021 perkebunan sawit dikawasan hutan harus menyelesaikan persyaratan perizinan usaha di kawasan hutan dalam jangka waktu tiga tahun. “Sementara Pasal 37 UU Cipta Kerja diganti dengan UU No 6/2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, di mana batas waktu penyelesaian persyaratan perizinan usaha di kawasan hutan tidak lagi tiga tahun, tetapi paling lambat 2 November 2023,” tambah Gunawan.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.