Sistem Ekonomi Liberal Sengsarakan Petani, Harga Komoditas Pertanian tak Stabil

Tempat Pelelangan Ikan (dok. greenpeace)
Tempat Pelelangan Ikan (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Sistem ekonomi liberal yang dianut Indonesia saat ini dinilai berdampak sangat buruk terhadap sektor pertanian dan pada gilirannya menyengsarakan petani. Dalam sistem ekonomi liberal petani dibebani banyak hal dan mengeluarkan biaya lebih besar untuk berproduksi. Mulai dari benih yang harus beli dari pihak swasta yang harganya mahal, pupuk juga di pasok tidak hanya oleh BUMN tetapi juga oleh pihak swasta dan pestisida juga harus di beli dengan harga yang mahal.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan mengatakan, sistem ekonomi liberal juga menciptakan ketidakstabilan harga komoditas pertanian. Dia mencontohkan harga komoditas bawang merah, kedelai dan beras ketan sangat tidak stabil dalam beberapa bulan belakangan ini.

Harga bawang merah yang tadinya berada di posisi Rp29.000/kilogram, di Brebes sudah menembus angka Rp38.000-Rp40.000/kg. Harga kedelai yang pada bulan Maret masih di angka Rp8.200/kg, pada bulan Mei sudah menembus Rp10.900/kg. Harga beras ketan yang tadinya masih Rp10.000/kg, kini sudah menembus harga Rp14.000/kg.

Heri mengemukakan, harga-harga tersebut sedang dalam ketidakstabilan yang tinggi. Hal ini terjadi karena pasar sudah terdistorsi oleh masuknya komoditas impor yang merembes ke pasar-pasar tradisional. “Celakanya, komoditas impor tersebut masuk secara ilegal, sehingga menjadi harga gelap permainan harga,” katanya seperti dikutip dpr.go.id, Senin (25/5).

Untuk itu, Heri meminta, tandasnya, pemerintah harus segera memperhatikan produksi dalam negeri melalui berbagai cara, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada rakyat. Pemerintah lewat Kementerian Perdagangan telah kecolongan dalam menjaga stabilitas pasar domestik yang berujung pada fluktuasi harga komoditas bawang merah,kedelai, dan beras ketan di pasaran.

“Buktinya, banyak komoditas impor ilegal yang merembes masuk ke pasar-pasar tradisional yang terus mendistorsi harga,” kata Heri.

Heri menilai, Perum Bulog yang juga ditugaskan untuk menjaga stabilitas harga kedelai dan bawang merah, tidak efektif dalam menjalankan perannya. Hal ini tentu sungguh mengecewakan, mengingat BUMN tersebut telah disuntik dengan PMN sebesar Rp3 triliun dalam rangka menopang tugasnya sebagai stabilisator harga.

“Untuk menjaga stok beras juga saja terlihat kelimpungan, apalagi komoditas lain, diperkirakan daya serap beras oleh Bulog secara nasional berkisar di bawah 10%,” tegas Heri.

Pemerintah terlihat tidak siap dalam merespons “perang harga” yang sedang dilakukan oleh negara-negara importir, terutama China. Padahal “perang harga” sudah gila-gilaan. “Negara-negara impor rela memotong harga komoditasnya hingga 40% dalam rangka mendorong ekspornya,” kata Heri.

Mestinya fenomena “perang harga” itu bisa diantisipasi jika pemerintah lewat Kementerian perdagangan lebih sensitif dan intensif melakukan pengawasan dan pengetahuan pasca “perang mata uang” yang telah melumpuhkan rupiah hingga menembus Rp13.000. “Apalagi, perang harga yang terjadi saat ini sudah masuk dalam kategori dumping yang merugikan kepentingan domestik,” terang Heri.

Karena itu, dia mengaku mengapresiasi langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang ingin mengendalikan produk impor. “Langkah ini tentu menggairahkan industri dan usaha kecil di dalam negeri,” katanya.

Ada tujuh produk impor yang dikendalikan Kemendag, yaitu elektronik, telepon seluler, mainan anak, makanan dan minuman, alas kaki, serta bahan dan bahan bermotif batik. “Langkah pemerintah yang akan mengelola tujuh produk impor untuk melindungi industri dan usaha kecil di dalam negeri merupakan berita yang baik untuk para pengusaha lokal agar bisa bersaing di pasar global,” ujar Anggota F-Gerindra DPR itu.

Heri berharap, langkah yang bagus ini tidak hanya sekadar wacana. Kebijakan tersebut harus betul-betul dilakukan di lapangan. Selama ini, ketujuh produk impor tersebut kerap mendistorsi pasar.

“Saya Heri Gunawan sepakat dengan kebijakan pemerintah untuk mengendalikan tujuh produk tersebut demi menjaga pasar dan industri dalam negeri dari serbuan produk impor di tengah melemahnya perekonomian dunia,” tandas Heri.

Dalam catatannya, pada 2015, impor Indonesia masih tinggi. Meski secara nominal turun, tetapi dari sisi volume justru naik dari 12,8 juta ton menjadi 13,2 juta ton.

Menurut Heri, naiknya volume tersebut disinyalir adanya penurunan harga besar-besaran oleh negara-negara importir, terutama untuk produk komponen mesin dan elektronik. “Indonesia sebagai pasar potensial harus berhati-hati terhadap skenario dumping. Kemendag bisa mengefektifkan bea antidumping sesuai peraturan yang berlaku. Ini akan mengendalikan produk-produk impor yang dijual murah serta melindungi industri dan UKM,” pungkasnya. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.