Solidaritas Perempuan: Sahkan UU Sumber Daya Air Negara Berpihak ke Swasta
|
Jakarta, Villagerspost.com – Solidaritas Perempuan menyesalkan pengesahan Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) yang terburu-buru dengan substansi yang bermasalah. Pada Selasa, 17 September 2019, DPR melalui rapat paripurna akhirnya mengesahkan UU SDA dengan kehadiran anggota yang memprihatinkan yaitu sebanyak 274 anggota DPR absen.
“Penyebutan ‘sumber daya’ dalam UU ini mencerminkan perspektif air sebagai komoditas dan fungsi sosial serta lingkungan hidup harus diselaraskan dengan fungsi ekonomi sehingga fokus pada pengaturan tentang pengusahaannya,” kata Kristina dari Solidaritas Perempuan, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (19/9).
Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XII/2013 yang membatalkan UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004 telah menetapkan enam prinsip dasar dalam pengaturan ekosistem air. Namun, kata Kristina, prinsip-prinsip ini yang kemudian ‘diakali’ oleh Pemerintah dan DPR demi memfasilitasi kepentingan investasi dan swasta.
“Hal ini terlihat nyata bagaimana tuntutan pihak swasta sangat diakomodir. Pertama, tidak ada ketentuan yang melarang secara tegas privatisasi air,” paparnya.
Bahkan, kata dia, dalam UU SDA, dimungkinkan partisipasi swasta dalam penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan pendanaan prasarana dengan pola kerja sama pemerintah dengan swasta/public private partnership (PPP). Termasuk kerja sama dengan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang selama ini telah nyata menimbulkan konflik dan krisis air yang dialami oleh masyarakat.
Kedua, demi meringankan pengusaha syarat pemberian izin penggunaan sumber daya air berupa penyisihan 10 persen laba usaha untuk konservasi SDA serta bank garansi pun dilonggarkan. Berbeda terbalik dengan pengusaha yang suaranya sangat diakomodir, suara masyarakat sipil justru dinegasikan.
“Dokumen yang sulit diakses dan tidak ada proses pelibatan yang substantif dari masyarakat sipil memperlihatkan keberpihakan negara pada pengusaha semata,” ujarnya.
Meskipun diatur bahwa pemberian izin penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat dan masih terdapat ketersediaan air, pengalaman Solidaritas Perempuan di akar rumput menunjukkan, aturan tersebut akan sulit dipraktikkan.
Perebutan sumber air antara masyarakat untuk kepentingan pribadi, rumah tangga dan pertaniannya dengan perusahaan untuk kepentingan dan aktivitas industrinya tidaklah terjadi di ruang yang netral atau hampa, melainkan ada relasi kuasa dan modal yang timpang sehingga masyarakat seringkali ada di posisi yang lemah.
Seperti yang terjadi di wilayah Lhok Nga, Aceh, dimana selama 35 tahun, pertambangan semen terus mengeruk dan menghancurkan kawasan karst serta menguasai sumber air masyarakat. Skema PPP juga merupakan skema yang terbukti gagal di banyak negara. “Termasuk juga di Indonesia, saat privatisasi air Jakarta tidak mampu memenuhi kebutuhan air masyarakat, menimbulkan kerugian negara dan berakibat pelanggaran hak atas air,” tegas Kristina.
Secara khusus, Solidaritas Perempuan juga memandang bahwa UU SDA yang disahkan buta gender dan mengabaikan fakta bahwa krisis air meningkatkan beban dan menimbulkan dampak berlapis bagi perempuan. “Kesulitan mengakses air bersih selalu dirasakan lebih berat dan mendalam bagi perempuan karena peran gender yang dilekatkan pada perempuan menjadikan perempuan bertanggungjawab memenuhi kebutuhan air untuk keluarganya. UU SDA yang disahkan ini hanya akan melanggengkan pelanggaran hak atas air dan inkonstitusional,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi