Surat Djarot Lanjutkan Pembahasan Raperda Reklamasi Melawan Hukum

Nelayan menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta (dok. kiara)

Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai, surat yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat terkait dilanjutkannya pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTR KS Pantura Jakarta) dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) melawan hukum. Pasalnya, surat bernomor 2054/-1.794.2 itu dikeluarkan dalam masa transisi peralihan kepemimpinan DKI Jakarta.

“Surat Gubernur DKI Jakarta dalam masa transisi bertentangan dengan hukum dan menciderai keadilan untuk nelayan. Alasan untuk melanjutkan pembahasan raperda zonasi dan rencana tata ruang itu banyak menutupi fakta-fakta lain dari mulai dampak buruk lingkungan hidup hingga fakta hukum menjadi dasar untuk tidak melanjutkan reklamasi,” kata kuasa hukum pihak Koalisi Tigor Hutapea, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (10/10).

Tigor mengatakan, Koalisi menemukan enam alasan, yang membuktikan surat Djarot itu melawan hukum.

Pertama, Surat Menko Maritim No. S-78-001/02/MENKO/Maritim/X/2017 tidak relevan karena tiada kewenangan dari Menko Maritim untuk menyatakan reklamasi dapat berlanjut. “Surat tersebut bertentangan dengan rekomendasi dari Kemeko Kemaritiman sendiri di tahun 2016 yang mengatakan Reklamasi Pulau G dihentikan dan mengevaluasi reklamasi pulau lainnya,” terang Tigor.

Selain itu, tidak ada kajian ilmiah tehadap alasan dicabutnya moratorium reklamasi. Padahal menurut kajian KKP atas dampak sosial dan ekonomi kebijakan reklamasi yang dilakukan tahun 2016 ditegaskan, selain dampak buruk lingkungan, reklamasi juga akan berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi dari nelayan.

Kedua, Putusan Mahkamah Agung No. 92/K/TUN/LH/2017 tidak menghilangkan fakta bahwa masih ada proses pengadilan yang memeriksa gugatan nelayan dan organisasi lingkungan hidup terhadap Gubernur DKI Jakarta yang menerbitkan reklamasi. Setidaknya ada tiga gugatan lingkungan hidup yang sedang berjalan antara nelayan dengan Gubernur DKI Jakarta yaitu terkait dengan Pulau F (SK Gubernur No. 2268/2015 dengan Putusan No. 14/G/LH/2016/PTUN-JKT), Pulau I (SK Gubernur No. 2269/2015 Putusan No. 15/G/LH/2016/PTUN.JKT) dan Pulau K (SK Gubernur No. 2485/2015 dan Putusan No. 13/G/2015/PTUN-JKT).

“Dari tiga gugatan tersebut menunjukkan bahwa proyek reklamasi adalah proyek bermasalah dan seharusnya dihentikan,” kata Tigor.

Ketiga, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Raperda RTR KS Pantura dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan masyarakat. “Patut diingat hanya ada satu kali Konsultasi Publik yang dilakukan setelah kajian dilakukan. Surat undangan sampai ke peserta yang diundang tidak sampai 24 jam sebelum kegiatan dan tanpa dilampirkan dokumen yang dibahas,” papar Tigor.

Selain itu, banyak substansi yang tidak dipertimbangkan dalam KLHS dari mulai berbagai kajian dampak buruk reklamasi hingga khusus dampak buruk kepada perempuan nelayan yang berada di wilayah pesisir yang tidak menjadi pertimbangan. “Sehingga tidak relevan KLHS dari Raperda RTR KS Pantura menjadi dasar dilanjutkannya dan sudah seharusnya KLHS diulang kembali dengan proses yang benar tanpa ada konflik kepentingan,” tegas Tigor.

Keempat, terkait dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 499/Menlhk/Setjen/Kum.9/9/2017 tertanggal 15 September 2017 dan No. 537/Menlhk/Setjen/Kum.9/10/2017, kedua surat keputusan tersebut menunjukkan lemahnya kedudukan pemerintah didepan perusahaan pengembang yang rakus.

“Sejak awal Koalisi meminta adanya pencabutan Izin Lingkungan semua proyek reklamasi di Teluk Jakarta karena jelas banyak permasalahan mulai tiadanya dasar hukum perencanaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil hingga pembuatan AMDAL yang diduga tidak partisipatif , tidak valid, dan cacat subtansif karena bertentangan dengan tata ruang AMDAL Bodong,” ujar Tigor.

Lebih lanjut SK Men LH 499 dan 537 tersebut tidak dilakukan dengan terbuka informasi dengan pelibatan masyarakat. “Sangat berbeda dengan proses terbitnya sanksi administrasi dimana perwakilan nelayan dari Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta terlibat dalam inspeksi,” katanya.

Di sisi lain koalisi telah mengajukan permohonan keterbukaan informasi atas pemenuhan kewajiban pengembang atas sanksi administrasi yang dijatuhkan namun hingga saat ini tidak dipenuhi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kelima, menlanjutkan pembahasan Raperda RTR KS Pantura dan Raperda RZWP3K yang telah jadi adalah bertentangan dengan prinsip anti-korupsi. “Karena Raperda RTR KS dan Raperda RZWP3K diselimuti jual beli pasal dan kemudian menjadi dasar untuk pemulus reklamasi berjalan. Terlebih KLHS dari Raperda RZWP3K tidak memiliki kajian lingkungan hidup strategis dan KLHS sebelumnya telah dibuat diduga kuat tidak melalui proses yang benar dan hanya berisikan hasil-hasil rapat,” ujar Tigor.

“Alhasil KLHS tidak dapat menjadi pembenar proyek reklamasi. Selain itu KLHS juga tidak berdasarkan daya dukung dan daya tampung teluk Jakarta,” tambahnya.

Keenam, secara politis, Djarot seharusnya menghormati Gubernur terpilih yang memiliki janji untuk menghentikan reklamasi. Jika Raperda RTR KS Pantura dan Raperda RZWP3K dipaksakan lanjut, DPRD hanya akan menambah masalah bagi pemerintah terbaru. “Sehingga sudah seharusnya DPRD DKI Jakarta menolak permintaan dari Gubernur Djarot,” pungkas Tigor. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.