Suropati Tuntut Tambang Emas PT BSI Banyuwangi Ditutup

Kerusakan lingkungan akibat pertambangan (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Solidaritas untuk Pergerakan Aktivis Indonesia (Suropati) menuntut agar pertambangan emas milik PT BSI di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur ditutup. Aktivis Suropati Aditya Iskandar mengatakan, kegiatan penambangan emas tumpak Pitu di Banyuwangi telah lama menjadi masalah, mulai dari kerusakan lingkungan hingga dampak sosial begitu terasa.

“Kerusakan lingkungan terhadap ekosistem di pertambangan Tumpang Pitu jelas mempengaruhi masyarakat, pepohonan yang berguna untuk menampung cadangan air tanah telah hilang, akibatnya ini berdampak terhadap kehidupan masyarakat sekitar yang mayoritas petani,” ujar Aditya kepada Villagerspost.com, Jumat (6/3).

“Belum lagi jika kita melihat Tumpang Pitu yang berada di bagian selatan Banyuwangi adalah pertahanan alam untuk melindungi dari bencana tsunami. Sejarah mencatat wilayah selatan Banyuwangi pernah mengalami tsunami pada 3 Juni 1994,” tambahnya.

PT Bumisukses Indo sebagai anak Perusahaan Merdeka Cooper Gold telah banyak merugikan masyarakat sekitar. “Penolakan terjadi hingga hari ini oleh masyarakat. Namun pemerintah dan PT BSI demi ambisi dan keserakahan bisnisnya terus memaksakan kegiatan pertambangan di Tumpang Pitu,” tegas Aditya.

“Kami akan terus menyuarakan perlawanan ini, hingga Pemerintah sadar untuk menutup tambang emas Tumpang Pitu. Memang berat, karena sebagian elit PT BSI memiliki relasi yang kuat terhadap pemerintah hari ini. Tapi yakinlah, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri!” pungkasnya.

Sebelumnya, Fitriati, nelayan perempuan asal Dusun Pancer, Desa Sumber Agung, Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, juga telah menceritakan nasib para nelayan di desanya yang saat ini masih terus mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat rusaknya Gunung Tumpang Pitu, pasca dibukanya pertambangan emas pada tahun 2014 lalu.

Dia bercerita, penambangan emas di Tumpang Pitu tak hanya menghancurkan kehidupan warga desa yang menjadi petani, tetapi juga nelayan. “Tahun 2016 lalu, terjadi banjir lumpur yang mencemari laut kami, karena luapan lumpur dari bukit yang digunduli,” kata Fitriati.

Banjir lumpur ini tak hanya membuat nelayan kesulitan melaut, tetapi juga ikut menghancurkan biota laut di kawasan wisata Pulau Merah yang selama ini menjadi andalan pariwisata di Banyuwangi. Tak hanya mengalami kerugian fisik dan psikis, para nelayan, kata Fitriati, juga mengalami kerugian secara budaya.

“Bertahun-tahun lamanya, bagi nelayan yang melaut dari desa kami, Gunung Tumpang Pitu merupakan penanda arah pulang. Jika kami hendak pulang dari melaut, maka kami melihat ke arah Gunung Tumpang Pitu, kini gunung itu dipangkas habis,” kisahnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.