Susi Bela TNI AL Soal Insiden KRI Tjiptadi-Kapal Vietnam

Kapal-kapal ikan Vietnam yang ditangkap aparat KKP. Illegal Fishing jadi tersangka utama rendahnya PNBP sektor kelautan (dok. kkp.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membela sikap yang ditunjukkan awal kapal perang RI (KRI) Tjiptadi 381, atas peristiwa provokasi yang dilakukan oleh kapal Vietnam, di perairan ZEE Indonesia di kawasan Natuna, Sabtu (27/4) lalu. Susi menilai, awak KRI Tjiptadi 381 yang tidak meladeni provokasi itu sudah tepat.

“Terkait insiden (intimidasi terhadap KRI TPD 381) tersebut, saya dengar ada yang menyalahkan TNI AL karena katanya Vietnam masuk di wilayah yang bukan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) kita. Ini komentar yang salah. Itu wilayah ZEE kita walaupum sifatnya klaim tetapi dibolehkan oleh hukum internasional kita (UNCLOS),” jelas Susi, di Jakarta, Selasa (30/4).

Dia menjabarkan, meskipun masih ada perselisihan dan perbedaan pendapat, di mana Vietnam berasumsi wilayah itu masih dalam garis batas landas kontinen mereka berdasarkan perjanjian landas kontinen Indonesia-Vietnam 2003, namun permukaan dan kolam air laut sebagai habitat ikan dan wilayah penangkapan mereka merupakan ranah rezim hukum ZEEI bukan masuk dalam ranah hukum landas kontinen.

Jika memang belum ada kesepakatan, kata Susi, seharusnya tidak ada kegiatan perikanan di wilayah tersebut sampai dengan tercapainya kesepakatan dua pemerintahan sesuai Pasal 74 Ayat (3) UNCLOS).

“Apa yang dilakukan TNI AL sudah benar dengan menarik KIA Vietnam tersebut karena berdasarkan Undang-undang Perikanan kita kewenangan penegakan hukum di laut ZEE Indonesia ada pada TNI AL dan KKP. Sebagai bagian dari Satgas 115, mereka sudah melakukan tugasnya dengan benar, tugas menangkap kapal ikan yang mencuri ikan. Jadi secara prosedur sudah benar,” tegas Susi.

Pendapat Susi ini didasarkan pada UNCLOS Pasal 57, negara pantai dapat melakukan klaim ZEE atas wilayah sampai 200 nm dari garis pangkal. Sehingga, Indonesia berhak untuk melakukan klaim atas wilayah ZEE yang melebihi batas Landas Kontinen yang disepakati dengan Vietnam.

Sementara itu, Vietnam melakukan klaim batas ZEE Vietnam segaris dengan Landas Kontinen dengan dasar Perjanjian 2003. Klaim tersebut sangat merugikan Indonesia karena perbatasan ZEE seharusnya tidak disamakan dengan perbatasan Landas Kontinen.

Pasal 74 Ayat (1) UNCLOS mengatur bahwa penetapan batas ZEE antar-negara pantai harus diadakan berdasarkan persetujuan atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil. Dalam beberapa kesempatan Indonesia telah mendorong dilakukannya pembahasan dengan Vietnam untuk menyelesaikan perbatasan ZEE.

Selama persetujuan belum dicapai, Pasal 74 ayat (3) UNCLOS mewajibkan negara yang bersangkutan untuk dapat bekerja sama dan tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Sedangkan peristiwa kapal BD 979 menunjukkan posisi Vietnam yang tidak kooperatif dan tidak menghormati upaya Indonesia dalam menjaga kedaulatannya.

Menurut Susi, kejadian tekanan dan intimidasi dari kapal asing terhadap KRI atau kapal pengawas ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi. Susi mengatakan, dalam satu tahun belakangan, agresivitas intrusi kapal ikan asing khususnya di wilayah perairan Natuna meningkat tajam. “Tahun ini, sudah ada 4 kali insiden kapal Vietnam dan 2 kali kapal Malaysia mencoba mengintimidasi dan menabrak kapal patroli kita, Kenapa mereka tidak jera? Ya namanya juga butuh. Sumber daya mereka sudah tidak ada. Mereka putus asa, jadi mereka datang ke perairan kita,” imbuhnya.

Seperti diketahui, kapal Vietnam BD 979 yang membawa 14 Awak Kapal Perikanan (ABK) berkewarganegaraan Vietnam ditangkap oleh KRI Tjiptadi (TPD) 381 di koordinat 6o24’50’’ U –106o50’12’’ T. Namun saat Kapal BD 979 digerakkan mendekat ke KRI TPD 381, dua Kapal Dinas Perikanan Vietnam yaitu KN 264 dan KN 231 melakukan interupsi.

Keduanya menabrak lambung dan buritan BD 979 hingga terjadi kebocoran. “KRI TPD 381 terpaksa memotong tali-tali BD 979 karena kondisi kapal tenggelam dan tidak dapat diselamatkan,” jelas Susi. Tak hanya itu, Kapal patroli Dinas Perikanan Vietnam tersebut juga menabrak lambung KRI TPD 381 dan berusaha mengikuti KRI TPD 381 untuk memberikan tekanan.

Susi menyayangkan pelanggaran yang terus-terusan dilakukan kapal perikanan asing, utamanya Vietnam. Padahal Vietnam baru saja terlepas dari kartu kuning (yellow card) dari Uni Eropa karena permasalahan illegal fishing.

Dalam periode Oktober 2014-Agustus 2018 misalnya, dari 488 kapal pelaku illegal fishing yang ditenggelamkan, 272 di antaranya merupakan kapal Vietnam, disusul 90 kapal Filipina, 73 kapal Malaysia, 25 kapal berbendera Indonesia, dan 23 kapal Thailand. Sementara itu sepanjang tahun 2019 (hingga 29 April), Kapal Pengawas Perikanan KKP, Kepolisian Perairan (Polair), dan TNI AL telah menahan 33 barang bukti kapal pelaku illegal fishing dari Vietnam disusul 16 kapal Malaysia. “Mereka seharusnya tidak lepas dari kartu kuning karena masih seringkali melakukan IUU Fishing di wilayah orang lain,” ujar Susi.

Terkait pemusnahan kapal pelaku IUU Fishing, Plt. Direktur Jenderal PSDKP, Agus Suherman menyatakan, rencananya pada 4 Mei mendatang, KKP dan Satgas 115 akan kembali menenggelamkan 51 kapal perikanan ilegal yang didominasi oleh kapal Vietnam. Adapun rinciannya 38 kapal Vietnam, 6 kapal Malaysia, 2 kapal Tiongkok, 1 kapal Filipina, dan 4 kapal asing berbendera Indonesia.

Sementara itu, menurut Agus, 14 ABK Vietnam pada penangkapan kapal BD 979 yang berstatus non-yustisia akan dipulangkan. Sedangkan nahkoda dan engineer yustisia akan menunggu putusan pengadilan. “Seringkali korporasi tidak mau menebus ABK yang ditahan. Harusnya kapal-kapal besar dikejar sampai korporasinya,” pungkasnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.