Tangani Sengketa Iklim, Indonesia Diminta Belajar dari Kasus Masyarakat Adat Torres Straits
|
Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) meminta, pemerintah dan penegak hukum di Indonesia, belajar mengatasi masalah sengketa iklim dari kasus masyarakat Torres Straits. IOJI dan ICEL menilai, kasus ini bisa menjadi pembelajaran menarik bagi Indonesia karena beberapa alasan.
Pertama, kasus adalah pertama kalinya, dimana masyarakat yang tinggal di pulau-pulau atau dataran rendah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, berani mengajukan tuntutan hukum kepada suatu negara terkait perubahan iklim ke Badan Traktat HAM PBB (UN human rights treaty bodies). Kedua, kasus ini pertama kalinya negara dinyatakan melanggar HAM oleh Badan Traktat HAM PBB dikarenakan upaya adaptasi perubahan iklim yang tidak memadai.
Ketiga, negara dinyatakan bertanggung jawab atas emisi Gas Rumah Kaca yang diproduksi oleh negara tersebut. Keempat, negara berkewajiban mengambil langkah-langkah positif (positive measures) untuk melindungi hak masyarakat adat atas budaya yang terancam oleh dampak perubahan iklim.
Kisah gugatan hukum ini bermula ketika masyarakat adat minoritas yang tinggal di kawasan kepulauan Torres Straits, mengajukan gugatan hukum kepada Australia. Gugatan dilayangkan pada tahun 2020 lalu, lantaran masyarakat adat menilai, pemerintah Australia melanggar HAM masyarakat Torres Strait Islands, karena upaya adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Australia tidak memadai dan tepat waktu.
Kebijakan ini, dinilai masyarakat adat di kepulauan Torres Straits, bakal mengancam kehidupan pribadi, keluarga, dan tempat tinggal mereka. Perubahan iklim, menurut masyarakat setempat tak hanya mengancam mereka secara fisik, yaitu terjadinya kenaikan permukaan air laut yang membuat pulau-pulau kecil yang mereka huni terancam tenggelam. Masyarakat adat juga menilai, perubahan iklim telah menyebabkan perubahan gaya hidup tradisional masyarakat dan mengancam mereka untuk pindah dari pulau yang menjadi bagian inti dari budaya mereka.
Masyarakat adat menyatakan, pemerintah Australia telah melanggar pasal-pasal terkait Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pasal yang dilanggar pemerintah Australia, menurut masyarakat adat adalah Pasal 2, Pasal 6 (hak untuk hidup), Pasal 17 (hak atas privasi, keluarga, dan tempat tinggal), Pasal 24 (hak anak), dan Pasal 27 (hak atas budaya minoritas) dari Kovenan Hak Sipil dan Politik tersebut.
Pengadu mendalilkan Pasal 6 telah dilanggar karena Pemerintah Australia gagal mencegah hilangnya nyawa yang dapat diprediksi dari dampak perubahan iklim dan melindungi hak atas hidup pengadu. Terkait Pasal 17, pengadu mendalilkan bahwa perubahan iklim telah menimbulkan gangguan terhadap kehidupan masyarakat seperti ancaman pindah dari pulau hingga hilangnya budaya dan tradisi mereka.
Karenanya, masyarakat adat juga menilai, pemerintah Australia telah melanggar Pasal 24 ICCPR, karena dianggap gagal dalam mengambil langkah untuk melindungi hak generasi yang akan datang dari masyarakat yang tinggal di pulau-pulau Torres Straits, yang akan sangat terdampak oleh perubahan iklim.
Kasus ini kemudian menjadi menarik, karena gugatan yang diajukan masyarakat adat ini berhasil. Dalam sidangnya pada tanggal 22 September 2022, Human Rights Committee menyatakan Pemerintah Australia melanggar HAM masyarakat Torres Strait Islands. Human Rights Committee merupakan komite beranggotakan ahli-ahli yang memiliki mandat, termasuk diantaranya meninjau pelaksanaan ICCPR, oleh negara dan menerima dan memberikan keputusan terkait pengaduan pelanggaran hak-hak sipil politik dari individu di negara anggota ICCPR.
Meskipun tidak menyatakan adanya pelanggaran Pasal 6 ICCPR (hak untuk hidup), Human Rights Committee memberikan tafsiran yang dapat dikembangkan di kasus-kasus berikutnya. Dalam melindungi hak atas hidup, negara berkewajiban untuk mengambil segala langkah yang diperlukan (due diligence obligations) dalam rangka menangani ancaman yang dapat diprediksi secara logis (reasonable foreseeable threat) dan situasi yang mengancam kehidupan (life threatening situation).

Dampak perubahan iklim dapat dicantumkan dalam kedua situasi tersebut. Terdapat perbedaan penafsiran (partially dissenting) di antara Human Rights Committee atas keberlakuan Pasal 6, dimana tiga anggota menyatakan Pemerintah Australia terbukti melanggar Pasal 6. Alasannya, Pemerintah Australia tidak mengambil langkah-langkah adaptasi yang tepat waktu setelah menerima berbagai pengaduan masyarakat terkait mitigasi dan adaptasi dan mengetahui tentang dampak perubahan iklim yang telah dirasakan masyarakat adat selaku penggugat.
Karenanya, IOJI dan ICEL menilai, kasus Torres Strait Islanders perlu dicermati oleh pemerintah-pemerintah di seluruh dunia. “Terutama Indonesia sebagai negara dengan jumlah climate vulnerable inhabitants (penduduk rentan perubahan iklim-red) yang tinggi,” ujar Stephanie R. Juwana dari IOJI, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (6/10).
IOJI mengutip data Badan Pusat Statistik tahun 2020 yang menyatakan, dampak perubahan iklim seperti kenaikan air laut, ancaman gelombang ekstrim, dan banjir rob akan mengancam 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal kurang dari 10 meter di atas permukaan laut. “Selain itu, Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim,” tegas Stephanie.
Panel Antar Negara untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun 2021 lalu mencatat, perubahan iklim berdampak pada peningkatan gelombang laut ekstrim dan cuaca ekstrim di wilayah Asia. Di level nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyimpulkan, dampak perubahan iklim mengubah morfologi pantai, merendam pulau-pulau kecil, dan mencemari sumber air tawar. Dampak perubahan iklim telah dirasakan di pulau-pulau kecil sebagaimana terlihat dalam data Satelit LAPAN.
“Pulau Nipa, Pulau Anak Krakatau, Pulau Kalinambang, Pulau Anak Ladang dan Pulau Karakitang telah kehilangan wilayahnya karena terdampak kenaikan permukaan air laut,” tambah Grita Anindarini Widyaningsih, dari ICEL.
BNPB juga mencatat selama tahun 2016-2018, sejumlah 1.685 desa tepi laut terkena gelombang pasang. Sementraa itu, ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan adanya kenaikan permukaan air laut di wilayah barat Indonesia setinggi 3,10-9,27 mm per tahun. Lebih lanjut, berdasarkan laporan BPS tahun 2020, cuaca ekstrim, dan gelombang laut menghantam kehidupan nelayan tangkap dan berdampak pada masyarakat yang tinggal di pesisir.
“Sebagai negara penghasil emisi GRK terbesar ke-7 di dunia, Indonesia perlu mengakselerasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya di pulau-pulau berdataran rendah yang rentan akan dampak perubahan iklim,” tegas Grita.
Pendayagunaan Nature based Solution (NbS), khususnya ekosistem karbon biru, perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Ekosistem karbon biru, yang terdiri dari padang lamun dan mangrove, memiliki kemampuan penyimpanan karbon yang lebih tinggi dari hutan terestrial (Mcleod, 2011). Mangrove juga berperan penting dalam adaptasi perubahan iklim sebagai penahan laju ombak. Indonesia merupakan negara dengan pemilik mangrove terluas terbesar di dunia.
Namun, laju degradasi dan deforestasi mangrove di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Pada sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2009-2019, Indonesia mengalami deforestasi mangrove seluas 182,091 ha dan degradasi mangrove seluas 79,050 ha. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia perlumenetapkan mangrove, khususnya mangrove eksisting, sebagai critical natural resources yang harus dilindungi, serta menghentikan segala upaya kegiatan yang dapat merusak mangrove.
Di Indonesia, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tercantum dalam Konstitusi (Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945). Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smdn (Perkara Samarinda Menggugat) dan Putusan No. 374/Pdt.G/LH/2019/PN.JKT.PST (CLS Polusi Udara Jakarta) telah mengakui kerusakan lingkungan sebagai pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun demikian, kausalitas antara dampak perubahan iklim dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat belum pernah disimpulkan dalam putusan pengadilan. Sebagaimana ditegaskan dalam Resolusi PBB pada tanggal 28 Juli 2022, dampak perubahan iklim berimplikasi buruk terhadap pemenuhan efektif HAM (effective enjoyment of human rights), termasuk hak atas lingkungan yang baik, sehat, dan berkelanjutan.
“Keputusan Human Rights Committee dalam kasus Torres Strait Islanders perlu dijadikan momentum bagi pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, dan masyarakat sipil dalam mewujudkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang lebih ambisius dan responsif,” jelas Stephanie.
“Menunda untuk melakukan mitigasi dan adaptasi yang memadai, berpotensi untuk menimbulkan ancaman pelanggaran HAM oleh negara,” lanjut Grita.
IOJI dan ICEL meminta, belajar dari kasus gugatan Torres Straits Islanders kepada pemerintah Australia, pemerintah perlu meningkatkan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berdasarkan kajian komprehensif tentang dampak perubahan iklim yang melibatkan masyarakat terdampak (genuine participation) dengan metode yang teruji secara ilmiah.
“Langkah ini perlu dikomunikasikan secara berkala dengan transparan dan akuntabel,” kata Stephanie.
Lebih dari itu, guna menjalankan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945, Pemerintah Indonesia perlu menetapkan ekosistem karbon biru dan hutan sebagai critical natural capital yang tidak bisa dipindahkan (irreplaceable) dan tidak bisa digantikan (non-substitutable) dalam rangka menjamin pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
“Penetapan ini harus diiringi dengan pembentukan dan pelaksanaan instrumen dan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang kuat,” tegas Grita.
Kemudian bagi penegak hukum, khususnya para hakim yang menyidangkan kasus gugatan iklim, IOJI dan ICEL juga meminta agar para hakim perlu mengakomodir pertimbangan hukum terkait dampak perubahan iklim secara ilmiah, serta menghubungkan kausalitas antara HAM dan perubahan iklim dalam putusannya. “Untuk itu, diharapkan hakim merujuk dan mereferensikan pada dokumen hukum relevan, salah satunya kasus Torres Straits Islanders,” jelas Stephanie.
IOJI dan ICEL juga meminta agar para akademisi dan komunitas ilmiah untuk mengarusutamakan diskursus dan penelitian terkait dampak perubahan iklim utamanya pada masyarakat terdampak langsung. Sementara kepada para LSM, IOJI dan ICEL mendesak agar bersama-sama mengawal komitmen dan target perubahan iklim Indonesia, memberikan pemahaman tentang hak-hak dasar kepada masyarakat terdampak dan melakukan upaya pendampingan kepada masyarakat terdampak yang sedang membela hak-hak nya dari potensi pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang sehat.
Editor: M. Agung Riyadi