Terlibat Kebakaran Hutan, Minyak Sawit IOI Diblokade di Rotterdam
|
Jakarta, Villagerspost.com – Aktivis Greenpeace menutup akses masuk bagi semua impor dan ekspor kelapa sawit dari pedagang besar IOI pagi ini, Selasa (27/9) di pelabuhan Rotterdam, Belanda, gerbang utama minyak sawit di Eropa. Berdasarkan temuan Greenpeace, minyak sawit dari rantai pasok IOI ternyata tidak bersih deforestasi dan justru telibat dalam terjadinya kebakaran hutan yang melanda Sumatera dan Kalimantan tahun 2015 lalu.
Selain itu, rantai pasok IOI juga tidak bersih dari praktik buruh anak. Ironisnya, minyak sawit bermasalah ini masih mengalir ke Eropa dan Amerika melalui fasilitas IOI. Terkait aksi itu, Kapal Greenpeace Esperanza telah ditambatkan di pelabuhan di belakang kilang, mencegah minyak sawit dibongkar dari tangki minyak.
Dua laki-laki asal Indonesia yang terkena dampak langsung kebakaran hutan ikut memblokade akses masuk ke kilang bersama delapan aktivis Greenpeace lainnya. Mereka melakukan perjalanan dari Kalimantan Barat ke Belanda untuk menyampaikan protes secara langsung terhadap IOI di kantor mereka yang berbasis di Eropa. Salah satunya adalah Nilus Kasmi. Kebakaran hutan telah menyebabkan Nilus dan keluarganya menghadapi kesulitan besar tahun lalu.
Mereka terpapar partikel beracun, dan asap yang menutup sekolah-sekolah, kantor-kantor dan tempat usaha serta membuat berbagai pekerjaan menjadi terkendala. Nilus sendiri bersama rekannya Adi Prabowo telah dilatih oleh Greenpeace untuk mencari, mencegah dan memadamkan kebakaran.
“Saya awalnya berharap pemerintah dan perusahaan bisa menyelesaikan krisis kebakaran hutan ini, tapi kegagalan mereka dalam menyelesaikannya membuat saya menyadari bahwa saya memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan hutan Indonesia,” kata Nilus dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com.

Para investigator Greenpeace Internasional menganalisa data dari pemasok IOI sendiri dengan analisis satelit dan laporan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil. Laporan ini mengungkap beberapa kelompok perusahaan yang terkait dengan masalah lingkungan serius dan pelanggaran hak asasi manusia. Laporan Greenpeace mengungkapkan, pada rantai pasok minyak sawit IOI terdapat masalah penggundulan hutan, termasuk hutan primer di Papua (Austindo Nusantara Jaya, Eagle High, Goodhope, Korindo) dan di Kalimantan (Eagle High, Indofood, TH Plantations).
Rantai pasok IOI juga terlibat pengembangan kebun di lahan gambut (Eagle High, Goodhope, TH Plantations). IOI juga terlibat kebakaran hutan luas yang tak terkendali (Eagle High, Indofood, Korindo) termasuk penggunaan api secara sengaja dalam penggundulan hutan (Korindo).
Selain itu ada juga kasus eksploitasi para pekerja termasuk bukti penggunaan tenaga kerja di bawah umur (Eagle High, Indofood). Kemudian ada juga pelanggaran HAM, termasuk membangun kebun tanpa FPIC (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan) dengan masyarakat adat atau lokal (Austindo Nusantara Jaya, Goodhope) dan penggunaan secara luas aparat militer dan polisi bersenjata di lapangan (Eagle High, Goodhope)
Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati mengatakan, meskipun pernah dikenai sanksi pencabutan keanggotaan RSPO, bukannya diatasi, daftar skandal IOI makin bertambah panjang dan diabaikan. Kebijakan yang diumumkan IOI tidak mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di kebun-kebun kelapa sawit pemasoknya.
“Pelanggaran HAM yang mengejutkan, deforestasi dan bahkan pembakaran secara sengaja terus berlangsung, yang menghasilkan bencana asap dan konsekuensi mengerikan bagi Indonesia dan negara-negara tetangga,” papar Annisa.
IOI telah gagal melakukan tindakan atas hasil pemeriksaan yang paling dasar terhadap para pemasoknya, sementara tetap menjanjikan bahwa minyak sawitnya bersih. Begitu juga jika para perusahaan konsumen hanya mengandalkan RSPO untuk memastikan bahwa mereka tidak terkena risiko lingkungan dan hak asasi manusia, dalam kasus perusahaan seperti IOI, mereka telah terperdaya. “Kenyataannya adalah merek-merek terkenal yang terus membeli dari IOI akan terkena risiko besar,” ujarnya.
Sebagi akibatnya, lebih dari dua lusin perusahaan konsumen termasuk Unilever, Mars dan Nestlé telah membatalkan kontraknya dengan IOI tahun ini. Keputusan tiga merek besar yang menolak berurusan dengan IOI ini harus menjadi peringatan bagi pedagang minyak sawit bahwa mereka harus segera membersihkan perilaku bisnisnya.
“Bagi industri kelapa sawit Indonesia yang ingin maju, mereka seharusnya menyadari kenyataan bahwa jaringan pasar global di mana kejahatan dan skandal tidak lagi bisa disembunyikan apalagi diabaikan,” tambah Annisa.

Greenpeace mencatat, Industri perkebunan seperti kelapa sawit telah membabat hutan hujan dan mengeringkan gambut selama bertahun-tahun, menciptakan kondisi ideal bagi meluasnya kebakaran hutan yang telah melanda Indonesia dalam dua dekade terakhir. Kebakaran hutan tahun lalu adalah musibah besar, menyelimuti kawasan dengan kabut asap yang mencekik selama berbulan-bulan.
Antara Juli hingga Oktober 2015 lebih dari dua juta hektar hutan Indonesia dan gambut terbakar setara dengan setengah luas Belanda. Laporan studi Universitas Harvard dan Columbia minggu lalu memperkirakan 100,300 kematian dini akibat kabut asap di seluruh Asia Tenggara pada tahun 2015.
Dalam situasi seperti ini, kata Annisa, pedagang minyak sawit IOI justru menangguk untung karena tidak begitu dikenal di masyarakat umum. “Fakta ini menguntungkan perusahaan, sehingga mereka bisa terlepas dari praktik-praktik yang tidak menjadi perhatian publik,” kata Annisa.
“IOI harus tahu bahwa dunia saat ini mengawasinya dan tidak ada pasar bagi kelapa sawit kotor yang menghancurkan hutan Indonesia, habitat spesies yang terancam punah, iklim bersama dan masyarakat Asia Tenggara,” tegasnya.
Greenpeace telah menyampaikan cara kepada IOI cara untuk mengakhiri blokade, dengan membuat pernyataan bahwa perusahaan akan berkomitmen terhadap rantai pasok kelapa sawit yang berkelanjutan. Jika IOI setuju, maka Greenpeace akan mengakhiri aksi blokade ini.
Greenpeace menegaskan, pihaknya menyadari kelapa sawit adalah komoditas yang digunakan lebih dari setengah produk-produk supermarket, mulai dari biskuit, coklat hingga sampo dan bedak bayi. “Kami tidak anti sawit, tapi kami tahu bahwa produksinya bisa dan harus berkelanjutan. Sangat mungkin menumbuhkan industri sawit tanpa pembukaan atau membakar hutan lagi,” kata Annisa.
Dia menegaskan, praktik kotor dari perusahaan seperti IOI dan para pemasoknya tidak dapat diterima secara moral, membahayakan ekonomi dan tidak dibutuhkan. “Selain itu, para konsumen tidak ingin dan tidak bersedia menjadi bagian dari praktik semacam ini. Ini harus dihentikan,” tegasnya.
Ikuti informasi terkait komoditas sawit >> di sini <<