Terpukau: Gugatan UU Pesisir Ancam Kelestarian dan Masyarakat Pesisir
|
Jakarta, Villagerspost.com – Tim Advokasi Anti-Pertambangan di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Demi Kemanusiaan (Terpukau) menilai uji materi yang diajukan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) atas Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. akan membuka eksploitasi berbasis pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Padahal, ijin yang sama telah ditolak oleh Mahkamah Agung.
Annisa Azzahra dari PBHI mengatakan, pengujian dengan Perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil itu, mengancam kelestarian dan penghidupan masyarakat pesisir.
“Pengalaman telah membuktikan, aktivitas pertambangan yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau kecil membuat nelayan tradisional kehilangan ruang hidup dan hak asasinya yang telah diatur secara konstitusional melalui Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Hak atas hidup yang layak, hak atas rasa aman, hak tas pangan, serta hak atas pekerjaan,” ujarnya, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com.
Beberapa nelayan tradisional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dihadapkan pada eksploitasi berbasis pertambangan, ditemukan berbagai bentuk bukti pelanggaran hak asasi. “Misalnya, kerusakan pulau menjadi tidak layak huni lagi, debu batubara menimbulkan gangguan pernafasan, sungai dan wilayah pesisir pantai tercemar limbah pertambangan hingga tidak lagi memiliki akses terhadap air bersih serta sumber makanan sehari-hari yang biasanya didapatkan ketiak melaut seperti udang atau ikan sungai,” tambahnya.
Sementara itu, Marthin Hadiwinata dari Ekomarin mengatakan, nelayan tradisional dengan kapal kecilnya harus melaut lebih jauh dan lebih lama karena perairan di sekitar pulau sudah rusak. “Ketika habitat rusak, tidak ada lagi ikan atau hewan laut yang bisa dimanfaatkan sebagai lauk atau dijual untuk penghidupan mereka, belum lagi selalu berujung dengan bencana ekologis seperti banjir lumpur yang merendam rumah warga dan daerah sekitar pulau,” tegasnya.
Karena itu, kata Marthin, Mahkamah Konstitusi harus betul-betul mendudukkan perspektifnya dalam memeriksa Nomor 35/PUU-XXI/2023. Dia menegaskan, pertimbangan hak asasi nelayan tradisional sebagai hak konstitusional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus jadi basis, bukan kepentingan investasi dan bisnis. “Jangan sampai, ketika hak asasi dihadapkan pada kepentingan bisnis maka hak asasi yang digadaikan,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi