Tesso Nilo Rusak, Petani Sawit Mandiri Jangan Disalahkan

Produk sawit dari perkebunan BUMN (dok. bumn.go.id)
Produk sawit dari perkebunan BUMN (dok. bumn.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Maraknya perambahan Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau terus-menerus dibebankan kesalahannya kepada para petani sawit mandiri. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) yang memayungi Petani Sawit mandiri pun berang dengan tudingan ini.

Terkait hal ini, Kepala Departemen Sustainability SPKS Swisto Uwin pun menyampaikan kajiannya terkait Perambahan taman nasional Tesso Nilo. Swisto berharap dengan kajian ini, petani sawit mandiri tidak terus disalahkan sebagai pelaku perambahan Tesso Nilo. “Karena sebagian besar yang melakukan perambahan Taman Nasional Tesso Nilo adalah bukan petani kelapa sawit mandiri,” kata Swisto dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (5/5).

Dia mengatakan, petani memang diberikan ruang oleh regulasi melalui Permentan No 98 tahun 2013 tentang perizinan usaha perkebunan untuk mengelola perkebunan dengan luas maksimal kurang dari 25 hektare dan jika lebih dari 25 ha maka wajib memiliki IUP dan HGU seperti perusahaan perkebunan. Di samping itu, terdapat permentan No 33 tahun 2006 yang tidak menjamin penyandang dana atau lembaga keuangan untuk memberikan langsung kepada petani melainkan harus melalui perusahaan sebagai garansi.

Karena itu, kata Swisto, petani selalu bermitra dengan perusahaan. Hal ini disebabkan karena petani tidak memiliki uang. Panduan pemerintah dalam program revitalisasi perkebunan kementerian pertanian, membutuhkan dana sekitar Rp52 juta untuk membangun 1 (satu) hektare lahan.

Berdasarkan laporan investigasi WWF-Indonesia (2013) yang bertajuk “Menelusuri TBS Sawit Ilegal dari Kompleks Hutan Tesso Nilo” terungkap bahwa kebun ini sebagian besar dimiliki oleh individu dimana 524 orang menguasai 26.298 hektare atau sekitar 72% dari total kawasan perkebunan di kompleks hutan Tesso Nilo. Luas rata-rata perkebunan yang dimiliki oleh individu adalah 50 hektare, jauh melebihi luas perkebunan yang umumnya dimiliki oleh petani. “Hal ini menunjukkan adanya pemilik modal yang besar,” tegas Swisto.

Perambahan yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, kata dia, rata-rata dilakukan pekebun sawit individu yang memiliki lahan lebih dari 25 hektare. “Dan yang menjaga kebun tersebut bukanlah pemiliknya melainkan pengelola atau manajer kebun. Pemilik dari kebun-kebun tersebut rata-rata tinggal di Kota Pekanbaru dan sebagian di Jakarta,” tegas Swisto.

Swisto melanjutkan, mereka yang membuka kebun di kompleks kawasan Tesso Nilo tersebut secara teoritis akan susah mendapatkan aspek legalitas seperti IUP atau HGU, karena lahan yang digunakan adalah taman Nasional. “Disamping itu, mereka bukanlah petani sawit mandiri tetapi mereka adalah pengusaha,” kata Swisto.

Kesimpulan itu, kata Swisto, didapat dari membandingkan biaya yang dikeluarkan untuk membuka kebun sawit. Untuk membuka kebun lebih dari 25 hektare, membutuhkan dana kurang lebih Rp1,3 miliar rupiah. “Pertanyaan kemudian, darimana uang tersebut kalau mereka bukanlah pemilik modal? Sementara petani sawit tidak diberikan dana oleh Bank kecuali kalau bermitra dengan perusahaan,” ujarnya.

Hadirnya pabrik tanpa kebun di sekitar lokasi atau pabrik-pabrik yang kebunnya sangat kecil juga menjadi faktor pemicu. Satu pabrik kelapa sawit berkapasitas 30 ton per jam saja, kata Swisto, membutuhkan kebun sekitar 7000 hektare. Apalagi jika kapasitas pabriknya lebih dari 30 ton per jam.

Sementara pabrik-pabrik kelapa sawit di sekitar lokasi lebih banyak luasannya antara 2000-4000 ha. “Tentunya pabrik tersebut membutuhkan kelapa sawit untuk menutupi kekurangan bahan baku,” ujarnya.

Jika berbicara tentang ancaman perambahan yang terjadi, SPKS tidak menampik bahwa ada juga sebagian kecil petani kelapa sawit mengelola dikawasan dikarenakan mereka adalah warga setempat dan hidup sejak lama sebelum kawasan ini ditetapkan statusnya sebagai kawasan Taman Nasional. Namun perlu ada solusi karena petani kecil tidak lagi memiliki lahan, karena sudah dialokasikan untuk perusahaan besar atau bahkan karena mereka digusur dan seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Karena itu, SPKS meminta agar perlu ada kajian mendalam soal tudingan terhadap petani mandiri agar tidak ada masalah dikemudian hari. “Pemerintah pusat dan daerah harus sinkron dalam melakukan pengawasan areal konservasi dan hukum harus lebih adil,” tegas Swisto.

Disamping itu, perlu ada solusi yang konkrit untuk meningkatkan kapasitas petani sawit, harga Sawit lebih baik, dan pemerintah harus memberdayakan mereka agar sawit yang dikelola secara berkelanjutan. “Skema kemitraan yang baru juga harus dikaji agar petani lebih mandiri, sejahtera dan berkelanjutan dan Bukan malah diserahkan ke swasta yang kemudian meruncing persoalan sosial yang lain,” pungkas Swisto. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.