Transparansi Jadi Kunci Wujudkan Perjanjian Iklim Paris
|
Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris dengan disahkannya UU tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change dalam sidang paripurna DPR, Rabu (19/10) lalu. Ratifikasi Perjanjian Paris ini adalah kabar baik, yang memberikan harapan dan sinyal bahwa pemerintah siap untuk mengambil langkah-langkah yang berarti dan mengikat untuk melindungi Indonesia dari dampak buruk perubahan iklim, termasuk menyebabkan kematian dini di seluruh Asia Tenggara.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Ratri Kusumohartono mengingatkan, saat ini emisi gas rumah kaca dari perusakan hutan terus meningkat. Pengeringan dan kebakaran lahan gambut berkontribusi sangat besar terhadap total emisi nasional.
“Sekarang adalah waktunya bagi Indonesia untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat pada Deklarasi hutan di New York 2014 untuk mengakhiri deforestasi dan melindungi lahan gambut secara total,” katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Jumat (21/10).
Transparansi adalah kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi hijau dan penurunan emisi yang telah ditetapkan pemerintah dalam INDC (kontribusi suatu negara dalam pengendalian perubahan iklim-red). “Ini artinya kredibilitas proses UNFCCC bergantung pada bagaimana semua stakeholder memiliki akses terhadap kebijakan dan data yang memungkinkan pemantauan independen dan verifikasi terhadap klaim pemerintah,” ujarnya.
Sayangnya, kata Ratri, nilai-nilai tersebut tidak tercermin di seluruh level pemerintahan Joko Widodo. KLHK saat ini menolak untuk memberikan data yang bisa digunakan dan tepat waktu, termasuk data tutupan lahan. Adanya surat dari Kementrian Pertanian kepada GAPKI yang mengatakan bahwa peta konsesi bersifat rahasia secara komersial.
“Ini adalah saatnya seluruh kementerian bekerjasama mewujudkan kebijakan Satu Peta,” terang Ratri.
Sementara itu, menurut Tim Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika, berdasarkan Perjanjian Paris yang diratifikasi tersebut, transparansi menjadi kewajiban mutlak bagi setiap pemerintahan. Oleh karena itu, sengketa data dan informasi geospasial dalam format shapefile yang saat ini menunggu keputusan dari Komisi Informasi Pusat (KIP), tidak perlu terjadi.
“Ini artinya apapun putusan yang akan dijatuhkan KIP, pemerintah Indonesia sebagai penandatangan ratifikasi Perjanjian Paris, tetap memiliki kewajiban untuk membuka data dan informasi geospasial dalam format shapefile,” kata Hindun.
Dia menegaskan, hal yang paling penting adalah apa yang akan dilakukan setelah ratifikasi. Implementasi penurunan emisi yang telah dijanjikan haruslah secara sinergi diadopsi oleh semua sektor dan bagaimana konsep pembangunan Indonesia beralih menuju penerapan ekonomi rendah karbon.
“Pemenuhan sumber kelistrikan Indonesia yang masih akan didominasi oleh batubara dapat kita lihat pada RUPTL 2016-2025 dan juga 35000 MW yang 60%-nya lebih masih berasal dari batubara,” terang Hindun.
Dengan tidak ada pengurangan porsi batubara dalam RUPTL, Greenpeace mengkalkulasi, sektor energi dari sumber listrik akan mengeluarkan emisi karbon sebesar 332 juta ton per tahunnya. “Sedangkan untuk menjaga kenaikan suhu bumi dibawah 1,5 derajat celcius, kita harus mencapai nol karbon pada tahun 2060-2080 yang artinya pemerintah harus mengambil langkah progresif untuk mengakhiri era batubara dan beralih pada energi bersih,” pungkasnya. (*)
Ikuti informasi terkait perubahan iklim >> di sini <<