UGM Minta Pemerintah Kembangkan Konsep Sapi di Padang Rumput
|
Jakarta, Villagerspost.com – Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) meminta dan mendorong pemerintah untuk mengembangkan konsep pasture-raised beef atau pengembangan sapi di padang rumput. Konsep ini dinilai mampu menghemat anggaran pengembangan hingga 45%.
“Pengembangan pasture-raised beef di Indonesia, sangat tepat dilaksanakan di Indonesia Timur (INTIM),” ujar peneliti pada Laboratorium Teknologi Makanan Ternak, Fakultas Peternakan (Fapet), Universitas Gadjah Mada (UGM) Cuk Tri Noviandi, Ph.D., dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (4/12).
Ia menuturkan, pengembangan sapi di padang rumput akan menghasilkan daging yang rendah lemak. Sehingga cukup baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat, yang sering dikenal dengan premium beef. Lebih jauh, Novi, panggilan akrab Cuk Tri Noviandi mengatakan, pengembangan pasture-raised beef cukup tepat dilakukan di Indonesia Timur. Pasalnya, kawasan tersebut masih memiliki padang rumput yang cukup luas sebagai bahan pakan sapi.
Di antaranya, daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi. “Dengan kondisi padang rumput yang memadai, maka sangat tepat jika pengembangan sapi, mulai dari indukan, pedet atau anakan, penggemukan sapi siap jual hingga rumah potong hewan, dibangun di Indonesia Timur,” terang Novi.
Menurut dia, pengembangan sapi di padang rumput Indonesia Timur memiliki banyak keuntungan bagi peternak dan masyarakat. Itu sebab, pihaknya mendorong pemerintah secara serius mengembangkan pasture-raised beef di Indonesia. Pertama, kata dia, pengembangan pasture-raised beef diperkirakan mampu menghemat biaya pakan mencapai 20-30%.
Sebab, padang rumput yang tersedia merupakan sumber pakan sapi yang cukup baik. Artinya, meski masih ada dana pemeliharaan terhadap rumput, namun nominalnya jauh lebih murah dibanding dengan biaya pembelian pakan ternak yang dikembangkan di kandang.
“Tetap masih ada dana pemeliharaan rumput yang dilakukan. Misalnya, biaya untuk memelihara agar rumputnya tetap tumbuh secara kontinyu dan mengandung kadar nutrien yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak,” terang Novi.
Kedua, dari sisi tenaga kerja yang menjaga dan memelihara sapi, diperkirakan dapat menghemat dana sekitar 10-15%. Jika pengembangan sapi di kandang membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak, maka pengembangan pasture-raised beef bisa lebih efisien.
“Dalam suatu areal yang memelihara 500 ekor sapi dengan konsep pasture-raised beef, hanya memerlukan tenaga kerja sekitar 5 orang. Sehingga cost-nya jauh lebih efisien dibanding pengembangan sapi di kandang. Sehingga paling tidak dari kedua metode di atas, bisa menghemat biaya pemeliharaan mencapai 45%. Itu kan angka yang signifikan,” papar Novi lagi.
Ketiga, pengembangan pasture-raised beef secara komprehensif dipastikan akan meningkatkan peluang ekonomi peternak. Khususnya dalam memperpendek jalur distribusi daging sapi dari produsen ke konsumen, ucapnya.
Ia mencontohkan, jika pemerintah membangun rumah potong hewan yang dilengkapi fasilitas freezer yang memadai di dekat lokasi pengembangan pasture-raised beef , maka biaya transportasi untuk mengangkut daging beku akan jauh lebih murah dibanding dengan biaya transportasi sapi hidup. “Cukup besar penghematannya jika yang dikirim itu daging beku dari INTIM ke seluruh Indonesia, dibanding mengirimkan sapi hidup,” papar Novi.
Terkait kapal yang digunakan untuk mengangkut sapi dari daerah produsen ke daerah konsumen, Novi mengingatkan pemerintah untuk melakukan terobosan penting. Pasalnya, kata dia, kapal pengangkut sapi yang dikembangkan pemerintah kurang mendapat tanggapan dari masyarakat.
Salah satu penyebabnya, ungkapnya, harga sapi ditentukan berdasarkan berat sapi saat tiba di lokasi tujuan, bukan pada saat naik ke kapal. Padahal selama perjalanan, berat sapi mengalami susut hingga 10 kg/ekor.
Selain itu, harga yang ditawarkan oleh pemerintah juga jauh di bawah harga yang ditawarkan oleh pihak swasta yang biasa mengangkut sapi tersebut dengan kapal kargo ke daerah Jawa dan Kalimantan. Dengan demikian, kerugian yang dialami peternak cukup signifikan.
“Jadi pemerintah perlu segera membenahi aturan main yang diterapkan dengan menggunakan kapal pengangkut itu. Kapal ini memang masih dapat digunakan jika pemerintah ingin mengembangkan anakan sapi dengan menggunakan teknologi pakan di Pulau Jawa,” papar Novi.
Novi menambahkan, pengembangan pasture-raised beef akan menghasilkan daging rendah lemak, dan berbeda dengan sapi yang dikembangkan lewat kandang. Meski berbeda, pasture-raised beef tetap memiliki cita rasa yang nikmat seperti halnya daging pada umumnya.
“Pasture-raised beef merupakan pilihan daging rendah lemak bagi konsumen yang ingin menikmati daging sapi rendah lemak. Jika hal ini dapat diterapkan, maka Indonesia akan menjadi produsen pasture-raised beef berkelas dunia,” pungkas Novi. (*)