Workshop Pemanfaatan Zona Tradisional Taman Nasional Bunaken
|
Bunaken, Villagerspost.com – Konservasi alam merupakan salah satu upaya strategis pembangunan nasional sektor lingkungan hidup, kehutanan, perikanan dan kelautan mulai dari skala lokal, nasional, hingga skala global. Desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi merupakan tuntutan yang mendasar, secara teoritis pemanfaatan tradisional di zona tradisional merupakan salah satu bentuk desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi khususnya pengelolaan Taman Nasional.
Pemberian akses kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumber daya di Taman Nasional pada zona tradisional merupakan salah satu upaya pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional. Warga setempat diberi kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya di zona tradisional dengan menggunakan aturan yang berlaku di kawasan Taman Nasional dan sesuai dengan pengetahuan ekologi/ kearifan lokal yang mereka miliki.
Untuk itulah, pihak TN Bunaken melaksanakan Workshop Pemanfaatan Zona Tradisional Taman Nasional Bunaken. Workshop yang digelar di Manado, Kamis (8/6) ini merupakan jembatan dalam menyampaikan pendapat, sikap dan aksi serta duduk bersama dari para pemangku kepentingan untuk berupaya dalam mengatasi pemecahan permasalahan yang terjadi dilapangan. Dengan demikian diharapkan ada persamaan persepsi dan rekomendasi untuk pengelolaan zona tradisional lebih baik kedepan.
Kegiatan yang diikuti oleh perwakilan kelompok-kelompok masyarakat di kawasan Taman Nasional Bunaken. Adapun pemateri dari Direktur Kawasan Konservasi Ditjen KSDAE-Kemen LHK, Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Sulawesi Utara, Staf Ahli Gubernur Sulawesi Utara Dr. John Tasirin, Kepala Balai TN Bunaken Ari Subiantoro, Kepala BPSPL Makassar dan perwakilan kelompok nelayan yang mengimplementasikan pengelolaan di zona tradisional yaitu cahaya Tatapaan dari Popareng.
Dalam kesempatan tersebut, Ari Subiantoro mengungkapkan, saat ini sudah terdapat kelompok swadaya masyarakat (KSM) Cahaya Tatapaan dari Popareng, Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan yang menjadi inovator dalam mengelola zona tradisional dalam bidang perikanan melalui Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP). “PAAP akan menjadi bagian kebanggaan kelompok-kelompok masyarakat yang berupaya melestarikan sumber nafkah berdasarkan kearifan lokal,” ujarnya.
PAAP mengkombinasikan antara area tangkapan ikan dan area tabungan ikan, dimana dengan harapan ikan akan selalu ada jika diberikan preservasi. “Hal yang paling utama adalah pengelolaan perikanan, Cahaya Tatapaan telah mencatat ikan tangkapan melalui ukur dan timbang sebagai indikator dari overfishing, adapun melalui pembatasan alat tangkap, waktu menangkap dan pengawasan lapangan yang menjadi kepatuhan segenap warga nelayan dalam menjalankan implementasi kelola perikanan sangat diperlukan manakala overfishing tersebut telah terjadi,” tegasnya.
Menurut Permen-LHK Nomor P.76/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Kriteria Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam yang dimaksud dengan zona tradisional adalah bagian dari Kawasan Pelestarian Alam (termasuk Taman Nasional) yang ditetapkan sebagai areal untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang secara turun-temurun mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Kawasan TN Bunaken merupakan Kawasan Pelestarian Alam berbasis perairan dengan luas 89.065 Ha.
Adapun wilayah TN Bunaken secara geografis dibagi menjadi 2 wilayah yaitu bagian utara terdiri dari 5 pulau (Bunaken, Manado Tua, Siladen, Mantehage, dan Nain) dan pesisir antara kelurahan Molas sampai desa Tiwoho yang disebut pesisir Molas–Wori dengan luas 75.265 ha. Bagian selatan terdiri dari pesisir desa Poopoh sampai desa Popareng yang disebut pesisir Arakan Wawontulap dengan luas 13.800 ha. Sampai tahun 2015 terdapat 25 desa di dalam dan sekitar TN Bunaken dengan + 35.000 penduduk di dalamnya.
Ketergantungan masyarakat pada kawasan Taman Nasional Bunaken sangat tinggi dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Walaupun dalam kawasan TN Bunaken, ruang untuk pemenuhan kebutuhan mereka telah diakomodir dalam zona tradisional (seluas 10.460,69 Ha), akan tetapi terkadang dalam penerapan di lapangan timbul perbedaan persepsi dalam menyikapi aturan yang ada dari masyarakat dan pemangku kepentingan dengan Balai TN Bunaken selaku otorita pengelola. Hal ini terjadi disebabkan karena terbatasnya informasi, komunikasi dan koordinasi diantara pemangku kepentingan yang ada.
Laporan: Eko Handoyo, Manajer Kampanye Pride Bogor 6 di Balai Taman Nasional Bunaken