Wujudkan Kedaulatan Pangan dan Keadilan Sosial Tanpa Bank Dunia-IMF

Aksi koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerak Lawan, menentang kehadiran Bank Dunia dan IMF di Indonesia yang dinilai telah menyengsarakan nelayan, masyarakat pesisir, petani dan perempuan (dok. gerak lawan)

Denpasar, Villagerspost.com – Indonesia mampu mewujudkan kedaulatan pangan dan keadilan sosial tanpa adanya bantuan pinjaman atau utang dari Bank Dunia dan IMF. Pesan tersebut dengan tegas disampaikan aliansi strategis masyarakat sipil yang tergabung dalam “Gerak Lawan” menanggapi agenda pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF dimana Pemerintah Indonesia.

Koordinator Gerak Lawan Muhammad Reza Sahib menyampaikan, IMF dan Bank Dunia adalah dua lembaga yang kehadirannya sama sekali tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi rakyat dunia.

“IMF adalah sebuah kenihilan, kesia-siaan yang hakiki atas kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat dunia. Tak ada hal siginifikan yang berguna dilakukannya selama lembaga ini eksis di muka bumi. Yang miskin tetap saja miskin, malah makin miskin. Kedaulatan negara digerogoti,” ujarnya, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (11/10).

“Selama lima hari ke depan Gerak Lawan akan melakukan serangkaian kegiatan mulai dari aksi damai, diskusi, dan pertunjukan budaya untuk menyuarakan penolakan atas kedua lembaga ini,” lanjutnya.

David Calleb Otieno dari Kenyan Peasants League (Organisasi Petani Kenya) menyatakan, di negaranya IMF memaksakan paket reformasi yang terus menguntungkan para kreditor di Kenya. “Rasio utang Kenya pada PDB saat ini adalah sekitar 70 persen. Jadi hampir semua diprivatisasi, air, telekomunikasi, transportasi. Kenya bahkan punya ATM Air. Petani jadi kehilangan otonomi terutama atas benih dan kebijakan pertanian karena semuanya didorong untuk pencarian laba dan cash crops. Kebijakan ini semuanya didorong oleh Bank Dunia dan IMF,” paparnya.

Zainal Arifin Fuad, anggota Koordinator Internasional La Via Campesina menambahkan, IMF dan Bank Dunia juga berperan dalam mengkooptasi makna reforma agraria.

“Ada beberapa contoh di mana Bank Dunia dan IMF juga mencoba berbicara bahasa perjuangan tani dengan mendukung reforma agraria, tetapi itu sebenarnya adalah bentuk-bentuk reforma agraria berbasis pasar, reforma agraria palsu, bukan yang diinginkan komunitas petani,” sebutnya.

“La Via Campesina sebagai gerakan petani internasional akan terus menyuarakan perlawanan atas IMF-Bank Dunia, khususnya dalam pertemuan tahunan di Bali tahun ini,” sambung Ketua Departemen Luar Negeri, Serikat Petani Indonesia (SPI) ini.

I Nyoman Mardika dari Yayasan Manikaya Kauci, menyampaikan, selama ini di Bali sering diselenggarakan acara bertaraf internasional yang membuai rakyat Bali tentang hal-hal yang berbau turis dan pariwisata dan mengetahui esensi dan substansi sebenarnya dari acara tersebut.

“Rakyat Bali harus mengetahui esensi dan substansi dari pertemuan ini tuturnya, harus membangun konstruksi kritis,” sebutnya.

“Memang 70 persen pendapatan daerah di Bali berasal dari pariwisata, namun di sisi lain, Bali kehilangan 800-1000 hektare lahan setiap tahunnya, dan 54 subak hilang selama lima tahun terakhir. Ini data, ini fakta, berdasarkan Badan Pusat Statistik. Jadi saya mau menekankan, rakyat Bali jangan terbuai dengan pariwisata karena alih fungsi lahan sangat masif di Bali saat ini, Bali tidak berdaulat pangan,” paparnya.

Sana Ulaili, petani anggota Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta menambahkan, dalam kesempatan ini mengajak semua peserta Gerak Lawan untuk memberikan solidaritasnya untuk menolak pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport, Bandara baru di Yogyakarta).

“Pembangunan NYIA merampas hak-hak petani dan mengubah tatanan budaya dan sosial di Yogyakarta,” tuturnya.

Perempuan petani dari Aceh Barat, Lina Mariana (Ketua SIMAB) menyuarakan kondisinya melalui puisi. Dalam baitnya “Di sawah inilah kami para perempuan ikut memperbaiki ekonomi, memperbaiki pangan menuju kesejahteraan”.

Syukur Buyung perwakilan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyampaikan adanya perampasan laut dari industri pariwisata dan pembangunan infrastruktur kawasan ekonomi khusus yang terjadi di Bintan-Kepulauan Riau. “Nelayan tidak lagi memiliki akses daulat atas wilayah pesisir dengan berbagai reaort pariwisata yang memprivatisasi pulau kecil. Begitu pula proyek kawasan ekonomi khusus yang meminggirkan nelayan dan rakyat pesiair dengan model pembangunan yang tidak adil,” tegasnya

Melky Nahar dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga mencatat sejak 1973 hingga 2017 terdapat lebih dari 18 proyek raksasa terkait energi dan pertambangan yang melibatkan energi kotor batubara hingga geotermal senilai US$3.590 miliar digelontorkan oleh World Bank dan semua tentakel keuangan yang terkait dengannya. ”

Semua operasi pertambangan dan pembongkaran energi fosil ini menyumbang penghancuran kedaulatan pangan, kesehatan dan ekonomi warga,” paparnya.

Maulana dari Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan, keberadaan dari mekanisme penyelesaian sengketa investasi organisasi di bawah Bank Dunia ini, khususnya melalui Investor-State Dispute Settlement (ISDS), justru malah menjadi ancaman kedaulatan bagi negara-negara berkembang yang tergantung kepada investasi asing.

“Pihak yang kalah kemudian harus membayar tuntutan ganti kerugian dengan jumlah signifikan serta menanggung biaya proses arbitrase yang juga sangat mahal,” ujar Maulana.

Implikasinya bagi negara-negara berkembang sangat substansial, terutama dengan kapasitas teknis untuk menangani perselisihan investasi, efek pada anggaran nasional, dan reputasi investasi yang rusak di mata investor terhadap negara tersebut.

Selain itu, dia menambahkan, peran negara kemudian semakin minimal dalam mengatur investasi di negaranya.

“Dengan menerima ISDS dibawah ICSID sebagai mekanisme bagi penyelesaian investasi di negaranya, sama dengan menerima tuntutan WB-IMF yang mendorong kebijakan investasi yang melemahkan kedaulatan negara,” tegasnya.

Lewat mekanisme tersebut, kedua institusi tersebut mengharuskan setiap negara membuat kebijakan investasi yang membuka akses pasar seluas-luasnya di negara berkembang bagi investor. Kebijakan investasi tersebut kemudian memaksa negara-negara berkembang dilarang melakukan pembatasan-pembatasan terhadap mobilitas modal investor.

“Dengan demikian bukan hanya negara tidak lagi bisa membuat kebijakan untuk mengatur investasi yang masuk, tetapi juga membuat negara tidak bisa melindungi kepentingan ekonominya dan juga rakyatnya,” pungkasnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.