Audit Sosial Pupuk Bersubsidi: Di Luwu Utara Petani Dipaksa Beli Pupuk Non Subsidi

Acara FGD terkait program audit sosial pupuk bersubsidi di Luwu Utara (dok. villagerspost.com/uppy supriyadi)

Luwu Utara, Villagerspost.com – Program audit sosial pupuk bersubsidi yang dilaksanakan di Kabupaten Luwu Utara kembali mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan para pengecer pupuk bersubsidi. Pelanggaran itu berupa adanya “pemaksaan” kepada petani untuk membeli pupuk non subsidi untuk bisa membeli pupuk bersubsidi.

Hal itu terungkap dari pengakuan sejumlah kelompok tani dalam Focus Group Discussions (FGD) Validasi Mekanisme Komplain Pupuk Bersubsidi Kabupaten Luwu Utara, Senin (29/1) lalu.

Beberapa perwakilan kelompok tani mengungkapkan, saat ini ketika petani ingin membeli pupuk bersubsidi berukuran 50kg maka diwajibkan membeli pupuk non subsidi merek Ponska sebanyak 1 kg. “Kalau tidak beli pupuk non subsidi, pupuk bersubsidinya tidak diberikan,” kata Konsta warga Desa Baebunta Kabupaten Luwi Utara.

Senada dengan itu, Masta warga Desa Sassa Kecamatan Baebunta yang juga merupakan Ketua Kelompok Tani Setuju, menyampaikan pengalaman serupa. Ia mengaku membeli pupuk subsidi Urea sebanyak 50 sak, namun diwajibkan membeli pupuk non subsidi sebanyak 2 sak dengan harga Rp10 Ribu setiap 1 kg. “Katanya itu berpasangan, jadi harus dibeli secara bersamaan,” paparnya.

Menanggapi pengaduan dari para petani ini, Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan (TPHP), Agussalim Lambong menegaskan, tidak ada aturan yang mewajibkan petani membeli pupuk non subsidi apapun alasannya. “Kita akan cek ini karena tidak ada aturan yang mewajibkan petani beli pupuk non subsidi,” ujar Agussalim, Selasa (30/1).

Ia juga menyarankan agar kelompok tani melaporkan jika ada pengecer yang melakukan hal demikian. “Tidak ada larangan pengecer menjual pupuk non subsidi, tapi tidak ada kewajiban petani untuk membeli,” ujarnya.

Selain masalah pemaksaan, persoalan lain berupa ketersediaan pupuk juga masih saja terjadi. Dalam FGD sebelumnya, di Desa Jenetaesa, muncul gagasan untuk melibatkan BUMDes sebagai pengecer pupuk bersubsidi untuk menjamin kemudahan akses. H. Amiruddin Ketua Kelompok Tani Tanadidi Jaya menerangkan, pemerintah desa Jenetaesa mengalokasikan anggaran untuk BUMDes sebesar Rp100 juta.

Menurutnya, bagi petani anggaran ini dianggap masih kurang jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan pupuk dari 13 kelompok tani yang ada di Desa Jenetaesa. Dia memaparkan, untuk pemupukan tahap I hampir tidak ada kendala.

Namun untuk pemupukan tahap II terjadi kelangkaan dan kenaikan harga pupuk subsidi jenis tertentu (Za, SP 36 dan Phonzka). “Khusus untuk jenis phonska, tersedia phonska plus (non subsidi) di pasar,” kata Amiruddin.

Hasil dari FGD tersebut terungkap, para petani memang menginginkan adanya kehadiran BUMDes selaku pengecer pupuk bersubsidi. Namun, kehadiran BUMDes sebagai pengecer pupuk diharapkan tidak mengganggu mekanisme pasar yang ada.

“Oleh karena itu, sebagai langkah awal BUMDes diharapkan membangun komunikasi dengan pihak lain (termasuk dengan pengecer, poktan, pengusaha lainnya) dalam merencanakan usahanya,” kata Amiruddin.

Kedua, BUMDes tidak hanya diharapkan bergerak pada usaha penyediaan pupuk saja (juga menyediakan racun dan kebutuhan petani lainnya). Selain itu BUMDes juga bisa bergerak pada usaha pasca panen (misalnya, pengeringan dan jual/beli gabah). Oleh karena itu BUMDes diharapkan menjalin kemitraan dengan pihak lain dalam mengembangkan usahanya.

Ketiga, Keberadaan BUMDes berpotensi untuk membuka lapangan kerja dan berkontribusi pada peningkatan PAD Desa Jenetaesa. Keempat, belum ada wadah yang terbentuk di Desa Jenetaesa untuk melaporkan keluhan dan melakukan komplain terkait permasalahan pupuk bersubsidi. (*)

Laporan/Foto: Uppy Supariyadi, anggota Perkumpulan Katalis, Jurnalis Warga untuk Villagerspost.com

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.