Rapor Merah Industri Pengalengan Tuna Asia Tenggara

Penangkapan tuna secara tradisional. Banyak perusahaan pengalengan tuna di Asia Tenggara masih mendapat rapor merah soal kelestarian sistem penangkapan (dok. greenpeace)
Penangkapan tuna secara tradisional. Banyak perusahaan pengalengan tuna di Asia Tenggara masih mendapat rapor merah soal kelestarian sistem penangkapan (dok. greenpeace)

 

 

Jakarta, Villagerspost.com – Greenpeace Indonesia dan Greenpeace Filipina menilai sebagian besar dari 22 perusahaan pengalengan tuna di kedua negara belum memenuhi tiga kriteria kunci yaitu keterlacakan, keberlanjutan, dan kesetaraan. Adapun perusahaan yang ditinjau meliputi sembilan pengalengan tuna di Filipina dan 13 pengalengan tuna di Indonesia.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution mengatakan, keterlacakan berarti perusahaan dan konsumen mampu menelusuri dari mana asal ikan tuna yang digunakan yang dimulai dari awal rantai pasokan. Kunci dari keterlacakan adalah mengetahui di mana dan bagaimana tuna ditangkap.

“Selanjutnya dalam kriteria keberlanjutan perusahaan harus berkomitmen melalui kebijakan penggunaan sumber tuna yang bebas dari praktik perikanan ilegal, merusak, dan tidak bertanggung jawab,” kata Arifsyah dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (21/9).

Kriteria kunci terakhir adalah kesetaraan. Kriteria ini mendesak perusahaan untuk mengetahui siapa yang menangkap tuna dan bagaimana mereka diperlakukan. Perusahaan harus berkomitmen memastikan kesejahteraan pada pekerja di seluruh rantai pasokan, dan bekerja aktif menghentikan perbudakan di lautan.

“Saat menelusuri praktik bisnis di perusahaan pengalengan tuna di kedua negara kami menemukan banyak dari merek-merek tuna besar ternyata tidak memiliki kendali dalam rantai pasokannya sendiri,” kata Arifsyah.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat menelusuri dengan akurat distribusi tuna dari kapal penangkap ikan ke pengalengan, hingga ke konsumen. “Maka tak heran jika perusahaan sulit memenuhi kriteria keterlacakan, keberlanjutan, dan kesetaraan,” ujarnya.

Menurut Arifsyah, konsumen terbiasa menggantungkan pilihan berbelanja berdasar pada merek dan reputasi perusahaan, namun studi ini menunjukan merek-merek tepercaya ternyata tidak menjamin praktik perikanan yang legal dan berkelanjutan. Apalagi hampir tidak ada perusahaan yang memberikan informasi mengenai jenis tuna yang dikalengkan serta bagaimana cara penangkapannya.

Dia melanjutkan tidak terpenuhinya ketiga kriteria tersebut menjadikan konsumsi tuna sebagai proses yang tidak transparan dan sering dipenuhi dengan praktik penangkapan ikan dan ketenagakerjaan yang tidak bertanggung jawab, dan terkadang ilegal. Konsumen yang ingin beralih ke konsumsi tuna yang bertanggung jawab dan berkelanjutan pun mengalami kesulitan karena tidak ada informasi yang memadai mengenai hal tersebut.

Selain itu, tambah Arifsyah, dari tiga perusahaan pegalengan tuna yang bersedia disurvei, Greenpeace Indonesia dan Greenpeace Filipina hanya menemukan satu yang menggunakan cara penangkapan ikan berkelanjutan dan memiliki kebijakan yang lebih transparan.

“Meski belum memenuhi seluruh kriteria dengan sempurna, namun perusahaan tersebut dinilai dapat memimpin pergeseran praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan dengan menggunakan metode huhate (pole and line),” pungkas Arifsyah. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.